VI

2.3K 475 75
                                    

-Enam-
Obrolan Serius
ㅡㅡ

Sepeninggal Jihan, Jungkook segera menarik Kiya masuk ke dalam mobil. Ya, gadis itu memang pacarnya, tapi kalau begini juga malu. Apalagi kejadian ini terjadi bukan lagi sekali-dua kali, sudah sangat sering. Terhitung sejak Kiya menjadi kekasihnya dua bulan lalu, padahal si pemuda kelinci itu mengenal Jihan lebih dulu.

Di dalam mobil keduanya diamㅡhening tenggelam dalam perasaan masing-masing. Kiya kesal, cemburu. Tapi yang dicemburui malah tidak menyadari. Sedangkan Jungkook? Kesal juga tak enak hati pada sekretarisnya.

"Mau sampai kapan kamu terus-terusan kaya gini?" tanya Jungkook dengan suara rendahnya.

"Sampai dia nggak deket-deket kamu lagi," sahut Kiya dengan mudahnya.

Mendengar jawaban gadisnya malah membuat Jungkook tertawa remehㅡnggak deket-deket lagi, katanya?

"Nggak mungkin. Aku sama dia itu satu organisasi, mustahil buat nggak deket. Komunikasi kami itu penting banget. Sekretaris sama presiden nggak bisa dijauhin, Ki," belanya.

"Tapi bisa, kan, deketnya itu di organisasi aja? Kalau diluar nggak usah deket-deket bisa, kan?" Kiya menatap kekasihnya yang mengacak rambut frustrasi.

"Kamu nih, lama-lama kayanya bisa masang rantai ke aku. Kalau kaya gini caranya kamu masung aku, Ki. Kamu nggak denger kata Jihan tadi? Dia itu kalau udah ngomong berarti udah saking keselnya. Kemaren-kemaren dia itu masih respect tau enggak sama kamu, bahkan kamu nangis waktu aku tinggalin aja dia marah besar. Dia bisa rasain jadi kamu tapi kamunya keterlaluan," Jungkook geleng-geleng kepala. "Parah."

Kini Kiya tertunduk diam. Jemarinya saling bertaut dan bergerak acak. Bibirnya mencebik akibat merasa sedikit tak enak hati pada si Jihan-Jihan itu.

"Aku cemburu. Aku takut Jihan gantiin posisi aku," tuturnya begitu lirih dan jujur.

Mendengar penuturan gadisnya yang terdengar penuh penyesalan lantas membuat Jungkook bergerak untuk menggenggam lembut tangannya. "Kiㅡ"

"Bahkan kamu selalu ketawa, kamu ceria banget tiap ngobrol sama dia. Tapi sama aku? Kamu marah-marah terus. Aku salah terus dimata kamu, Jeon."

Kini pernyataan Kiya berhasil membuat Jungkook agak sulit menghela napas. Perasaan bersalah segera datang menyelimuti hati pemuda itu.

"Padahal disini aku pacar kamu, tapi kayanya yang bisa bikin kamu seneng selalu dia. Waktu kamu juga abis buat organisasi. Enggak, aku gak nyalahin kamu atas organisasi atau apapun itu. Aku tau pasti jadi pemimpin itu sulit, tapi tolongㅡinget kalau kamu punya aku. Jadiin aku tempat bersandar kamu kalau capek, jangan jadiin pelampiasan. Aku bisa jadi pendengar yang baik buat kamu, Jeon." Kiya jelas menahan mati-matian agar air matanya tidak tumpah saat iniㅡ

"Tapi kalau aku emang cuma bisa dijadiin tempat pelampiasan amarah kamu, nggak apa-apa, lakuin aja. Setidaknya kamu masih inget kalo punya aku."

ㅡtapi akhirnya tumpah juga.

Kalau sudah begini, Jungkook jadi lemah. Dia tidak bisa melihat perempuan menangis, apalagi ini kekasihnya sendiri. Merasa bersalah sekali karena selama ini tidak bisa menjadi kekasih yang mengerti, padahal mintanya selalu dimengerti.

"Ki," pemuda Jeon itu mencondongkan tubuh untuk mendekap hangat kekasihnya. "Maaf ya? Kalau kamu nggak ngomong kaya gini, mungkin aku nggak akan sadar."

Gadis mungil itu mengangguk, memilih untuk balas mendekap hangat kekasihnya. "Jangan diulangin lagi."

Jungkook mengangguk sebagai jawaban, bibirnya membentuk sebuah lengkungan kurva yang berarti. "Iya, enggak diulangin lagi, demi Kiya."

ProblematicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang