XXIX

2K 381 158
                                    

-Dua Puluh Sembilan-
Kamunya Aku
ㅡㅡ

Jika berbicara tentang kebahagiaan, manusia tentu memiliki cara dan takarannya masing-masing. Ada yang bahagia hanya karena mengidolakan seseorang atau melihat hewan peliharaan berlarian dengan lincah. Ada yang mengukur kebahagiaan lewat materi—memiliki semua barang branded dan gadget yang up to date. Ada juga yang bahagia karena pencapaian sempurna dalam hidup. Namun manusia seringkali belum cukup, merasa kurang padahal kebahagiaan yang diberikan Tuhan sudah melimpah. Padahal jika ingin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, kita sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna hanya perlu bersyukur dan berhenti mengeluh. Andai itu dilakukan, kita pasti menjadi insan dengan tingkat kebahagiaan tertinggi.

Sebagai gadis yang baru saja dipatahkan hati dan harapannya, awalnya Jihan memang meronta pada Tuhan untuk mengembalikan sumber kebahagiaannya. Tapi lama-kelaman gadis itu meluluh beriring terbitnya harapan baru. Perlahan gadis itu bersyukur, mungkin Tuhan memiliki maksud baik. Mungkin Yang Kuasa sedang mencoba melepaskan hamba-Nya dari kubangan dosa yang terlalu besar. Senyum gadis itu sudah kembali sepenuhnya meski hati belum terbebas dari luka. Tidak mudah, sungguh. Sekuat apapun Jihan mencoba bersyukur dan ikhlas, rasa tak rela untuk melepaskan masih tetap tinggal sekalipun harapan besar sudah terpampang di depan mata.

Jungkook dan segala ketulusannya masih bertahan untuk Jihan meski ia tahu kalau gadis itu sama sekali belum berlari menujunya. Bibir boleh saling bertaut, hati siapa yang tahu? Malam itu, bilah bibir mereka saling menyapa kembali namun keraguan meliputi salah satunya. Bibir Jihan memang manis, namun terasa ragu pada tiap sapuannya. Dan Jungkook, merasakan itu dengan jelas. Apalagi saat mereka kembali mencipta jarak dan manik mereka bertemu dalam satu garis lurus, pemuda Jeon itu semakin menemukan keraguan yang begitu banyak. Jihan jelas sedang berusaha menyingkirkan sisa-sisa sentuhan Hoseok dengan cara merasakan sentuhan lain.

"Han, jangan gini lagi." ujar Jungkook lirih sembari mengusap bibir bawah lawannya yang masih terlihat begitu basah menggunakan ibu jari.

Namun, Jihan menggeleng seraya mengerjap lembut. "Nggak apa-apa, Jung. Gue suka. Bibir lo manis."

Semburat merah jelas muncul di kedua pipi Jungkook, beruntung langit malam berhasil menutupi itu. "Tapi kita temenan, Han. Dan gue tau, ini salah satu cara lo buat lupain dia, kan?"

Gadis Min itu terdiam, memilih menuli dan merengkuh tubuh besar yang ada disisinya. Ia tidak peduli lagi dengan status pertemanan yang ada. Lagi pula Jihan berpikir kalau Jungkook pasti senang-senang saja dengan perlakuan yang diberikan. Padahal sesungguhnya pemuda itu takut, takut kalau dirinya akan menjadi pihak yang tersakiti pada kisah ini.

"Temenan banyak yang gini kok, bahkan lebih." ucap Jihan pada akhirnya.

"Friends with... benefit?" tanya Jungkook dengan ragu.

Gadis itu mengangguk membenarkan. "Lo bisa sentuh gue kapan pun lo mau."

"Maksud... nya?" bahkan pemuda Jeon itu terlihat bodoh saat ini. Sentuh yang dimaksud disini yang seperti apa?

"Kaya tadi. Kita ciuman. Ya, lakuin selayaknya ke pacar lo."

"Tapi, lo bukan pacar gue." sanggah Jungkook dengan cepat sembari membebaskan lengannya dari bahu ringkih sang lawan bicara. Entah kenapa hatinya terasa nyeri. "Gue mau lakuin itu kalo keduanya mau, kalo keduanya tulus. Nggak kaya gini, Han. Gue ngerasa cuma jadi pelampiasan lo aja tau nggak."

Setelah itu Jungkook bangkit, menyugar surai yang sudah menutupi mata beriring hembusan napas berat. Ternyata mencintai sepihak itu menyakitkan sekali, ya?

ProblematicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang