XVIII

1.8K 387 35
                                    

-Delapan Belas-
Jungkook Brengsek
ㅡㅡ

Jika kesabaran tak cukup menyadarkan, mungkin kehilangan yang akan melakukannya. Kasusnya sama dengan Jeon Jungkook. Pemuda itu merasa hampa, merasa sesuatu telah terenggut dari dirinya saat Kiya mengucap kata pisah begitu mudahnya. Padahal Jungkook tahu kalau gadis itu amat mencintainya. Tapi kenapa semudah itu dan ... kenapa harus Taehyung? Kenapa harus sahabatnya sendiri yang menjadi peran antagonis? Tidakkah ada seseorang yang lebih baik lagi? Astaga, Jungkook bahkan tahu betul perangai sahabatnya. Taehyung itu tak lebih baik dirinya, malah hobi sekali merayu wanita.

Tapi, jika kita tak pernah menanam apapun, kita tidak akan pernah merasa kehilangan bukan? Jungkook jelas pernah menanam sesuatu di dalam hatinya untuk Kiya, hanya saja ia tidak pernah menyadari sejauh mana akar itu menancap. Ia baru merasakan sakit saat akar itu dicabut paksa hingga menghancurkan segalanya. Tidak ada lagi Jungkook yang periang, tidak ada lagi Jungkook yang berwibawa. Yang terlihat sekarang hanyalah seorang pemuda bodoh yang menunggui gerbang rumah orang lain. Jungkook terus berdiri bersandar pada mobilnya, berharap seseorang yang ditunggu datang menghampiri.

Benar saja, tepat dua jam setelah si bodoh itu membuang waktu untuk menunggu, datang sebuah motor matic dengan body besar keluaran terbaru yang mengangkut dua penumpang, dan itu jelas seseorang yang sedari tadi ia tunggu. Jungkook segera menghampiri sedangkan Kiya terpaku di tempatnya. Tidak menyangka bahwa mantan kekasihnya itu akan mengejar. Tidak, pokoknya tidak boleh goyah. Sudah ada Taehyung. Ingat semua luka yang telah ditorehkan Jungkook.

"Ki," panggil Jungkook lirih.

Tapi Kiya masih mematung, hanya mengalihkan atensinya pada Taehyung. Pemuda itu tentunya mengerti kalau gadis yang ia sukai ini masih belum sepenuhnya merelakan. Maniknya masih memancarkan harap namun dikelilingi luka. Taehyung mengangguk, mengerti kalau keduanya perlu bicara. Semuanya harus jelas dan diselesaikan baik-baik. Tapi Kiya menggeleng, pelupuk matanya sudah mengembun. Ia tidak mau menangis lagi karena Jungkook.

Pemuda Kim itu mengusap lembut bahu sempit dihadapannya sembari berujar lirih. "Terakhir, biar semuanya jelas. Seenggaknya kalian harus selesain semuanya dengan cara yang baik. Atau mungkin kalau belum bisa, lo boleh balik ke dia. Tapi dengan resiko sakit yang lebih besar."

Tentu saja Kiya menggeleng lagi. Sudah cukup. Sakit yang diterima sudah begitu besar. "Lo jangan pergi dulu, ya?" pintanya pada Taehyung yang segera dibalas dengan anggukan.

Setelah itu Taehyung menepikan motornya, sedangkan Kiya melangkah lambat menuju Jungkook yang terlihat kacau.

"Bisa ngobrol sebentar kan, Ki?" tanya pemuda Jeon itu hati-hati begitu mantan kekasihnya berada tepat di hadapan.

Kiya mengangguk samar menyetujui tanpa mengucapkan satu kata pun.

"Kalau gitu ikut gue bentar, ya?"

Tapi kali ini gadis Choi itu menggeleng kuat. "Enggak, disini aja."

"Tapi, Ki—"

"Disini atau enggak sama sekali." tegas Kiya kini.

Jungkook jelas tidak bisa lagi melawan. Ia tahu kalau Kiya benar-benar marah pada dirinya. "Ya udah, disini tapi di mobil aku, ya? Nggak enak diliat tetangga kamu ntar."

Gadis itu setuju kemudian melangkah mengikuti pemuda yang berhasil menguasai sekaligus menghancurkan hati dan harinya. Mereka sudah duduk berdampingan, tapi Kiya terus menunduk sedangkan Jungkook terus menatap sendu. Tapi akhirnya pemuda itu meluncurkan satu pertanyaan.

"Kamu serius mau kita selesai, Ki? Kenapa?" bahkan pertanyaan itu terdengar begitu menyakitkan.

Kiya menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri agar tidak kembali goyah. "Semuanya udah jelas, aku sama kamu nggak pernah sejalan. Aku selalu berusaha lari buat raih kamu, tapi ternyata lari kamu makin cepet tanpa sekalipun berniat berhenti buat nunggu aku biar kita bisa lari bareng-bareng. Capek, Jeon. Sayang sendirian itu capek, sakit."

ProblematicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang