-Tiga Puluh Satu-
Temukan Kebahagiaan Lain
ㅡㅡTerkadang, manusia memiliki dua pilihan. Mundur satu langkah untuk melompat lebih jauh, atau mundur satu langkah untuk perlahan menjauh. Dan Jungkook, jelas memilih opsi yang kedua. Ia tidak ingin ada keterpaksaan. Ia tidak ingin mencinta seorang diri karena rasanya sakit sekali. Pemuda Jeon itu tidak menyangka kalau kisahnya bersama Jihan akan serumit ini.
Begitupula Jihan, ia sadar kalau sesuatu memang tidak seharusnya dipaksakan. Kehadiran Jungkook selama ini memang terlihat diterima dengan mudah. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Hatinya, sama sekali belum menerima pemuda itu. Alasannya membiarkan Jungkook melakukan kontak fisik dengan bebas, tentu saja untuk menumbuhkan rasa. Berharap agar benih itu tumbuh dengan baik, bukan malah mati seperti ini.
Jadi, gadis Min itu menerima keputusan Jungkook untuk berhenti atas usaha yang telah dilakukan selama ini. Itu haknya.
"Maaf karena belum bisa terima perasaan kamu, Jung," sesalnya.
"Nggak perlu minta maaf, aku yang harusnya sadar diri." Jungkook mengulurkan lengan untuk mengusap pelan puncak kepala sang gadis. "Makasih banyak, ya."
"Tapi, Jung. Kalau aku bisa tulus sama kamu, kamu masih mau terima aku?" tanya Jihan dengan ragu.
Sang lawan bicara hanya menyulam senyum tipis sebelum berujar, "Tergantung takdir, izinin kita bareng-bareng atau enggak."
🌻🌻🌻
Waktu demisioner sudah semakin dekat. Jabatan yang dimiliki sebentar lagi lengser. Biar bagaimana pun, pendidikan harus tetap nomor satu. Mengingat para petinggi organisasi sudah mulai memasuki semester akhir.
Seperti biasa, sebelum resmi turun dari jabatan, mereka akan melakukan Musyawarah Besar (Mubes) untuk membahas peraturan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon presiden berikutnya. Sama seperti Munas, Mubes juga dilakukan sampai tengah malam bahkan menjelang pagi.
Jungkook sibuk mendoktrin calon presiden pilihannya, memantapkan visi dan misi agar dapat diterima dengan baik. Agar program kerjanya dapat terus berlanjut. Sedangkan Jihan, terus berkutat dengan laptop guna merevisi peraturan yang dibahas bersama presidium sidang.
Si gadis Min itu menggeleng karena rentetan kata nampak buram. Padahal ia sudah berkali-kali meneguk kopi, dan kali ini entah botol yang kesekian. Biasanya minuman berkafein itu mampu menahan kantuk, tapi kali ini gagal. Ya, wajar saja. Sudah pukul dua pagi, tapi masih berdebat tentang tanda baca yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan.
"Nay, gantiin gue sebentar, ya? Kamar mandi, cuci muka. Ngantuk banget gue," bisik Jihan pada rekannya.
Nayeon mendongak, menatap tak kalah sayu karena merasakan hal yang sama. Mengantuk. "Mau ditemenin, enggak?"
"Nggak usah, lo handle ini dulu aja." Jihan menepuk bahu rekannya dua kali sebelum berlalu.
Gadis Min itu melangkah lebar agar cepat sampai, ingin membasuh wajah agar terlihat segar. Namun, beberapa langkah sebelum sampai, pening menyerang begitu hebat yang mengharuskannya mencari sesuatu untuk penopang tubuh agar tidak limbung.
Kebetulan, Jungkook juga usai membasuh wajah. Begitu melangkah keluar, ia terperanjat karena mendapati sosok gadis yang selama ini ia hindari sedang berusaha meraih sesuatu dengan kening yang berkerut dalam akibat menahan pening.
Pemuda itu berlari kecil agar bisa menggapai sang sekretaris dengan cepat. "Han, kenapa?"
Tak peduli, Jihan meraih pergelangan tangan Jungkook, meremas hebat dengan desisan lemah dan napas yang berat. Ia hanya butuh penopang agar tidak limbung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Problematic
FanfictionKisah rumit Jeon Jungkook, Min Jihan, dan Jung Hoseok. Semakin hari semakin kusut. Semakin hari, semakin banyak kebohongan tercipta. Parahnya, mereka hanya pasrah mengikuti arus. Tak ada satupun yang mencoba melawan atau bergerak menepi. Januari, 20...