CHAPTER 4

6.8K 162 2
                                    

Pukul 20:00. Rumah Sakit.

Jessie duduk di kursi yang tersedia di sebelah ranjang yang ditiduri Erick. Ditemani bersama Jovan. Beserta Jullian dan Regina, namun kedua orang paruhbaya itu menunggu diluar.

Ia tak mampu lagi menahan air yang sudah membendung penuh di pelupuk matanya. Ia memejamkan matanya pelan, membiarkan air mata itu luruh bersama luka-lukanya.

Air mata itu luruh ke bawah, dibiarkan menetes ke bumi. Sedangkan luka-luka itu? Luruh, mengalirkan perih hingga ke sekujur tubuh.

Jujur Jessie lebih terpukul melihat Erick terbaring lemah seperti ini dibanding ia melihat Erick mendua.

"Rasanya lebih menyakitkan dibanding saat kau mengkhianatiku, Erick," batin Jessie.

Jessie memberanikan untuk menyentuh tangan itu lagi. Setelah lima tahun, tapi rasanya masih menyakitkan seperti dahulu.

"Bahkan dengan matamu yang masih terpejam pun, aku tak kuasa menatapmu Erick,"

"Arghh, untuk menyentuh tanganmu saja aku tak sanggup.. hiks..hiks,"

Jessie semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Erick disaat rasa perih dihatinya semakin memilukan.

Jovan melihat air mata yang mengalir deras di pipi mulus milik Jessie tak kuasa menahan emosi di dadanya. Sebegitu fatalnya kesalahan Erick bahkan untuk melihat wajahnya pun, Jessie enggan!

Jessie memantapkan hatinya. Menguatkan segala kerapuhannya fokus pada satu tujuan. Ia kemari hanya untuk membantu Erick membuka matanya sekalipun tak bisa ia tak akan kecewa, toh ia sudah berusaha. Meskipun sejatinya ia sangat berharap sepenuh jiwa agar Erick benar-benar melihat dunia.

"Je---Jessie," lirih Erick masih setia dengan mata terpejam.

Mendengar kalimat itu berhasil meruntuhkan segala kemantapan hati Jessie. Tangis yang berhasil ia bungkam kembali memecahkan segala keheningan. "Kau benar-benar merindukan ku, Mr. Edbert,"

"Arghhh, aku tak sanggup melihatmu seperti ini, Erick.. hiks.. hiks,"

Jessie mendongakan tubuhnya agar ia bisa mendekatkan wajahnya tepat di telinga Erick. Ia mengelus-elus rambut Erick penuh sayang.

"Akupun merindukanmu, Erick. Kembalilah! Bukalah matamu,"

"Bangunlah Erick. Bangun," lirih Jessie ditengah isakan tangisnya yang memilukan.

Ia langsung memeluk Erick dengan sangat erat. Seakan siapapun tak boleh mengambil dia darinya.

Badannya bergetar hebat, luka masalalu itu kembali muncul menyeruak di seluruh organ. Ditambah dengan kelemahan Erick saat ini membuat ia tak kuasa lagi menjalankan kekuatan.

Siapapun yang mendengar isakan itu pasti ia tak kuat untuk segera mendekapnya. Jovan menghampiri Jessie, ia mengusap sayang punggung jiwa yang sedang terguncang itu.

"Jika kau tak kuat untuk melanjutkannya. Hentikan Jessie," Jessie hanya menggeleng lemah.

Jovan melihat jari telunjuk milik Erick bergerak pelan dan singkat. Hanya sekejap dan matanya pun seperti sedang melakukan usaha agar terbuka.

"Je, Je. Lihat! Kau berhasil, Erick seperti nya akan membuka matanya."

Mendengar itu Jessie langsung merubah posisinya menjadi berdiri. Memang benar, mata Erick seperti berusaha untuk bisa membuka mata.

Jessie menutup mulutnya tak percaya. Ia sangat terharu melihat hal itu.

Terimakasih, Tuhan! Batin Jessie.

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang