CHAPTER 17

3.2K 85 0
                                    

Kini bibir Jessie menjadi candu tersendiri bagi Erick. Bahkan mampu menyingkirkan kecanduannya terhadap vodka. Tidak mencium wangi bibirnya saja selama sehari, dirinya bisa gila.

Erick mengerang berkali-kali bahkan sampai berteriak seperti orang kehilangan akalnya, sekedar mencoba untuk menahan nafsu yang mulai menguasai otak serta hatinya.

"Sebegitu terobsesinyakah diriku terhadapmu?" Batin Erick.

Erick mencoba untuk melampiaskan nafsunya dengan melakukan kebiasaannya. Meneguk vodka. Mungkin dengan itu ia bisa sedikit meredakan hasrat dalam jiwanya.

Gleuk..gleuk..gleukk..arghh!

Gleuk

Gleuk

Arghhhhh ....

"Vodka sama sekali tidak mengurangi nafsuku. Aku hanya ingin bibirmu, itu saja!" Gumam Erick.

Tidak ada pilihan lain. Cara satu-satunya untuk bisa menuntaskan nafsunya ialah, menjemput Jessie dari club lalu ia bisa bebas mengecup bibir yang memabukan itu.

Jessie benar-benar membuat Erick kehilangan akal sehatnya.

Erick mengambil kunci mobil sport merah miliknya di atas meja lalu berlenggang menuju parkiran untuk mengemudikan kendaraan mewahnya itu.

***

Jessie memutar knop pintu yang ditengahnya terdapat angka 09F. Dimana ruangan tersebut adalah tempat yang dijanjikan untuknya melayani seseorang.

Saat berhasil memasuki ruangan tersebut. Tubuhnya seketika mematung, namun hanya bertahan selama beberapa detik.

"Tampannya!" Batin Jessie memuji seorang pria bertubuh tinggi tegap serta dada bidang yang dibalut kemeja abu-abu itu. Jessie tak sedikitpun memalingkan tatapannya dari hidung mancung, bibir tebal, serta bulu mata lentiknya.

"Euh, selamat malam Tuan," ucap Jessie seraya tersenyum.

Pria itu dibuat kebingungan oleh gadis yang baru saja menyapanya. Jujur, di dalam hatinya ia memuji paras manis yang dimilikinya. Sangat menarik! Pikirnya.

Namun, apakah dia yang akan melayaninya malam ini? Pria itu sedikit tidak yakin. Pasalnya ia beranggapan bahwa gadis dihadapannya kini ialah seorang gadis baik-baik yang salah memasuki kamar untuk beristirahat. Ia mencoba menilai itu dari wajah Jessie yang menurutnya polos.

Tetapi ia akui juga, bahwa penampilan Jessie malam ini sangatlah menggugah birahinya.

"Eum, apa kau salah kamar?" Tanya pria itu.

"Huh?" Jessie menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal.

"Ti---tidak! Aku--aku dituju untuk melayani seseorang di kamar ini. Mungkin aku dituju untuk melayanimu," ucap Jessie gugup.

"Hah, yang benar saja!" Batin pria tersebut.

"Kau memesan wanita yang hanya melayanimu untuk tidur dan mengobrol saja, bukan?" Tanya Jessie memastikan.

"Heem, itu benar!"

"Iya itu aku. Aku yang akan melayanimu," ucap Jessie cepat.

Entah mengapa gadis manis itu begitu antusias malam ini. Wajah cerah milik pria itu sungguh berhasil membangunkan semangatnya.

Jessie tak pernah merasa sebahagia ini dalam melayani seorang pria sebelumnya.

"Ba--baiklah," ucap pria itu setengah terbata.

Jessie pun tersenyum.

Ia mulai melepas high hellsnya lalu melangkahkan kakinya pelan menuju meja rias disamping kasur itu.

Ia meraih jas berwarna maroon yang tergeletak disana. Lalu membaca name tag yang tertera dibagian dada kiri jas tersebut.

"Samuel Jamlov," gumam Jessie.

"Oh, jadi pria yang memiliki paras yang menggugahkan semangat ini bernama Samuel Jamlov?" Jessie membatin seraya tersenyum-senyum sendiri.

"Iya. Itu namaku, tapi kau bisa memanggilku Sam," ucap nya. Senyum manis pun menghiasi bibir tipisnya.

Samuel menggulungkan lengan kemejanya sampai siku. Kemudian duduk diatas kasur tersebut.

"Namamu siapa?"

"Jessie Jovandra," ucap Jessie kemudian duduk disamping Samuel.

"Panggil saja aku Je," sambungnya.

Berawal dari perkenalan itu Jessie dan Samuel dapat mengetahui lebih dalam lagi pribadi satu sama lain.

Jessie dapat mengetahui bahwa seorang Samuel Jamlov adalah seorang pemain piano terkenal di kota Amerika. Wajar jika Jessie tidak mengetahui itu, pasalnya Jessie buta informasi di kota besar ini.

Jessie dapat mengetahui bahwa malam ini adalah malam pertama bagi seorang Samuel Jamlov memesan wanita pelayan. Alasannya sederhana, ia prustasi karena putus cinta.

Usia dirinya dan Samuel pun hanya berbeda beberapa bulan. Hal itu memudahkannya untuk mengobrol lebih santai lagi dengan pria itu.

Berbeda dengan Samuel, gadis itu tidak begitu menceritakan banyak hal tentang dirinya. Ia hanya menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya wajar saja.

Apalagi pasal hiruk pikuk kehidupannya, itu sangat rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengetahui hal itu.

"Kau sudah punya kekasih, Je?"

"Tidak. Tidak untuk sekarang," jawab Jessie seraya tersenyum,

"Kenapa?" Tanya Sam mulai merujuk ke arah pribadi Jessie,

"Aku hanya ingin bebas saja. Bebas menikmati kesendirian ku dulu,"

"Lalu bagaimana denganmu? Mengapa kau bisa putus dengan kekasihmu?" Sambung Jessie kemudian memalingkan wajahnya menghadap Sam,

Jessie dibuat gugup oleh mata yang dihiasi bulu lentik diatasnya, sebab sekarang wajahnya ditatap intens oleh Sam. Bahkan mata berbulu lentik itu tidak berkedip sedikitpun.

Apalagi saat ia menyadari tatapan itu kini jatuh pada bibir berisinya. Sam mulai memajukan wajahnya perlahan menepis jarak diantaranya.

Bagaikan magnet, Jessie pun mulai mengikuti apa yang dilakukan Sam. Ia memajukan wajahnya perlahan demi perlahan sampai bibir miliknya menyentuh bibir tebal milik pria berbulu mata lentik itu.

Hanya saling bersentuhan saja. Tidak ada yang berinisiatif untuk sekedar menjilat ataupun melumatnya.

Ia tak pernah mengira bisa melihat wajah bak titisan dewa ini dalam jarak yang sangat dekat seperti ini.

Mata Sam pun tertutup, sepertinya ia sedang menikmati harum dan lembutnya bibir Jessie.

Sebenarnya, ada rasa canggung yang mengelilingi hati Jessie. Namun, jika ia lepaskan kecupan itu Sam sudah membayarnya mahal-mahal hanya sekedar untuk menyentuh bibirnya saja.

Jessie pun mulai memejamkan matanya perlahan menikmati elusan tangan Sam yang mulai bergerak pelan di paha mulus nan putihnya.

____________________

*lanjut next chapter*
Give me voment, please!

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang