CHAPTER 43

1.4K 40 0
                                    

"Je, aku merindukanmu."

Setelah suara itu terdengar, pelukan masih setia dipertahankan. Ada sesuatu yang membasahi bahunya. Jessie sedikit merenggangkan pelukan itu, ia menatap mata abu milik Jovan.

"Hey, kenapa kau menangis?"
"Maaf, Je. Seharusnya aku tidak pernah bersikap seperti itu padamu." Suaranya terdengar lirih.
"Jovan..."
"Aku bodoh. Aku manusia tidak punya otak, Je. Aku sudah bersikap jahat padamu."

Jessie tersenyum dalam tangisnya. Yaampun, apakah ini mimpi? Tidak. Karena ini benar-benar terasa nyata. Bagaimana kaki ia berpijak, bagaimana ia bernafas, serta bagaimana pelukan itu menghasilkan kehangatan, semuanya sudah pasti terjadi secara nyata.

"Aku memahamimu, Jo. Tidak apa. Semuanya akan baik-baik saja." Ujarnya menenangkan Jovan.

"Terimakasih sudah mau memaafkanku, Jessie." Lirih Jovan. Jessie menghapus lembut air mata yang menghiasi wajahnya.

"Masuk, Jo. Aku sangat merindukanmu." Ajak Jessie. Jovan mengangguk, kemudian ia merangkul Jessie.

Namun saat langkah kaki di pijakan, ada sesuatu yang menghalangi kaki Jessie. Membuat ia tersandung dan terjatuh ke...

"Awh! Lantai." Jessie meringis kesakitan menyadari sekarang tubuhnya berada di lantai karena tidak bisa diam saat tertidur.

Hah, sebentar. Tunggu! Jessie bangun dari jatuhnya. Ka dudukan tubuhnya di lantai.

Jadi aku hanya bermimpi. Jovan? Dia tidak benar-benar datang?

Sudah sakit karena terjatuh dari sofa, ditambah lagi dengan sakit akan kenyataan yang menamparnya bahwa Jovan tidak datang.

Jessie beranjak dan naik ke atas sofa untuk duduk disana. Ia menegunkan diri. Tengah menyusun nyawanya yang belum sempurna terkumpul. Separuh nyawa dan saraf sadarnya masih tertinggal jauh di bunga tidurnya barusan. Hembusan nafas berat kerap kali tak terkontrol untuk tidak lolos dari mulutnya. Tak terhintung.

Gadis itu melangkahkan kakinya ke dapur. Disuguhkan dengan indahnya ekspetasi lalu ditampar oleh realita ternyata membuat dehidrasi juga. Hampir tiga gelas air yang ia teguk, tapi belum berhasil membuat dirirnya rela bahwa itu hanyalah mimpi. Inginnya kenyataan. Sungguh.

Mungkin tidak ada salahnya juga jika ia mencoba untuk menyusun kembali gerakan-gerakan yang terjadi dalam mimpinya tadi. Siapa tau saat dirinya melangkahkan kaki keluar, dia akan mendapati Jovan di ambang pintu. Sama seperti dalam mimpi.

Ia menata langkah menuju sofa. Meraih longcardy tebal serta tasnya. Persis seperti dalam mimpi, ia tidak mengganti pakaian dan tidak memakai riasan apapun.

Ia berdoa dalam hati. Semoga saja, Jovan ada tepat di ambang pintu, tengah menunggunya. Sama seperti dalam mimpi.

Jessie memutar handle pintu dengan sangat perlahan serta hati-hati. Saat pintu berhasil terbuka, sesuatu yang hangat menerjang tubuhnya. Rasanya sama seperti dalam mimpi. Wangi dan kehangatan yang disuguhkan sangat sama dengan apa yang tersaji dalam bunga tidurnya tadi. Tidak mau ambil pusing dengan bunga tidur yang menjadi kenyataan, Jessie terus memeluk Jovan. Erat.

Jika dalam mimpi Jovan menangis dan mengatakan kalimat rindu. Apakah dalam realita juga sama?

"Je, aku merindukanmu." Terdengar begitu sama. Nafas serta detak jantung Jovan begitu sama dengan apa yang ada dalam mimpi.

Namun, kali ini bukan Jovan yang menangis. Melainkan, dirinya sendiri.

Tuhan, terimakasih karena sudah menitipkan mimpi yang menjadi kenyataan padaku.

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang