EPILOG

3.5K 46 4
                                    

"Membosankan sekali!"
"Aku juga sama."
"Oh, iya. Jo. Kau bersedia tidak mengantarku?"
"Mengantarmu? Kemana?"

Jovan masih ada di apartemen Jessie, sebenarnya dia bosan sekali jika harus menghabiskan masa senggang dari kesibukannya dengan hanya sekedar nongkrong di apartemen sahabatnya yang acapkali dingin ini. Sudah sedari tadi, Jovan merayu Jessie, dan mengajaknya untuk bermain ke luar. Tapi gelengan kepala selalu menjadi jawaban. Entah sudah yang keberapa embusan, desah bosan itu pasrah. Hingga pada akhirnya, Jessie mengatakan demikian.

"Ke apartemen ibuku,"

What?! Apa tidak ada tempat yang lebih menyenangkan selain itu?!

***

"Mau ikut masuk tidak?" Tanya Jessie spontan karena melihat wajah Jovan yang sangat suntuk sekali.

Jovan melepas seltbelt yang melingkar di tubuh Jessie, kemudian menatapnya.

"Tentu saja. Memangnya kenapa juga aku harus tidak ikut?"
"Wajahmu mengatakan lain, Jo."
"Tidak ada apa-apa di wajahku. Kau jangan sok tahu!"
"Sungguh, kau boleh pergi."
"Tidak, Je. Aku harus menemanimu,"

Yasudah...

Setelah masuk ke dalam, benar saja, Jessie langsung rindu. Padahal ruangan ini baru beberapa pekan dihuni oleh sang ibu, tapi aroma dari sosok beliau sudah sangat melekat dengan tiap sudut ruangan tersebut. Juara sekali jika dalam perihal menyimpan pilu bertopeng rindu.

Jessie susuri tiap jengkal dari penjuru ruangan tersebut, takut ada sesuatu yang tak terpijaki, sesuatu yang bisa membuat ia paham dengan semua ini, mungkin. Tapi, apa ya yang belum Jessie pahami. Bukankan semua sudah sangat jelas? Bukankan semua sudah sangat rinci?

Tanpa bisa dikontrol, sepasang kaki mungil itu tiba-tiba mengajak tubuh Jessie ke sebuah dimensi yang entah mengapa jadi beda sekali suasananya, lebih tepatnya suasana hati Jessie. Gadis itu melangkahkan kakinya, untuk masuk kedalam. Padahal ruangannya sangat bersih, sangat rapi. Tapi, mata Jessie langsung panas dan berkaca-kaca. Padahal kini tak ada sedikitpun debu yang terlihat berterbangan dan masuk ke kelopak matanya.

Oh, karena itu rupanya. Jessie segera derapkan kaki ke sumber air matanya lagi-lagi terbendung.

Di atas nakas, ada sebuah potret sederhana yang terbingkai. Didalamnya ada gambar dari seorang pria paruh baya bertubuh tegap, lalu disampingnya ada seorang wanita manis tengah mengais seorang bayi yang sangat jelita sekali.

Jessie balik bingkai itu, dan ternyata ada sebuah kalimat tertulis apik di belakangnya.

Ayah, ibu, dan Jessie kesayangan...

Air mata Jessie yang sejak tadi terbendung, kini tumpah. Sesak sekali rasanya melihat gambaran kehidupan keluarganya ketika semuanya sedang baik-baik saja. Kenapa ibunya harus menaruh kenangan yang sudah tak baik lagi diletakkan di masa sekarang? Kenapa?!

Sukmanya lagi-lagi dibendung kebencian, kepedihan dan dendam. Entah harus ditujukan kepada siapa semua ini ia pun tak tahu. Benteng-benteng pertahanan agar tak kian rindu, melebur. Selalu saja seperti ini, rindu berselimut pilu. Ia tak bisa memilih satu diantaranya. Karena mereka menyatu, ketika sepasang manik hitam itu lagi-lagi bersinggungan dengan figur ayah-ibu.

Kembali, Jessie tenggelam dalam air mata dan dendamnya sendiri.

"Jessie, aku mencarimu kemana-mana ternyata kau disini," suara Jovan membuat remasan jemari Jessie terhadap bingkai foto itu kian meremuk hebat. Kenapa disaat seperti ini selalu saja ada orang yang ikut andil? Kenapa semesta tak mengizinkan dirinya untuk mengatasi keterguncangannya sendiri?

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang