CHAPTER 49

1.1K 33 0
                                    

Enjoy!

Meskipun mengejutkan, sejatinya semua kalimat yang Erick suarakan semalam, itu sukses menyembuhkan. Lebam biru di seluruh hati Jessie, berangsur memudar. Luka sayat yang teramat dalam, yang sangat mustahil sekali untuk bisa disembuhkan, ternyata sukses dimusnahkan. Nanah dan darah yang membentang membentuk danau di pelabuhan sukmanyapun kini alhasil sukses surut.

Sederhana memang, ditengah-tengah kegaduhan dan kekecewaan. Erick sukses membius Jessie dengan satu kotak cincin dan senjata kalimat paling menghangatkan. Gemuruh riuh di hatinya seketika senyap. Lenyap ketika pria bermanik biru itu mengajukan seluruh keberanian untuk menyuntingnya. Tentu saja itu menyembuhkan.

Ketika semua kalimat itu sukses dirampungkan, entah angin dari kutub mana yang berhasil membuat Jessie mengangguk, kemudian mengulas senyum. Tentu saja itu adalah sebuah jawaban, dan sudah pasti senyum yang menyimpul itu dapat ditafsirkan jika Jessie mengiyakan.

Pelukan dipersatukan, lagi-lagi dua manusia itu diperbudak yang namanya kasih sayang. Benar, cinta memang berada di atas segalanya. Cinta adalah warisan yang paling kuat di semesta raya. Semua negri pun rasanya akan tentram jika didasari dengan cinta.

Sesuai dengan kalimatnya, tentu saja Erick merealisasikan. Jemari Jessie sudah ada dalam genggaman. Keringat sudah mulai membanjir, dan Erick tak gentar untuk menguatkan.

"Er, aku takut."
"Dia adalah ibumu, Je. Kenapa harus takut?"
"Bukan pada ibuku. Tapi pada—"
"Pada wajah-wajah yang pernah menyentuhmu?"

Jessie mengangguk.

"Mereka tidak ada disini, sayangku."
"Tapi, mereka ada di mata ibuku..." lirih Jessie.

Erick menangkup wajah Jessie dengan lembut, mengerti jika gadis kesayangannya sedang ingin dimanja.

"Kalau begitu, hilangkan wajah mereka. Anggap kalau yang ada di mata ibumu adalah diriku." Ujarnya memberi keyakinan.

"Bisa sayangku?" Lanjutnya.

Jessie menatap sepasang manik biru Erick dengan lekat. Ia biarkan dirinya tenggelam disana, karena jujur saja disana lebih meneduhkan dibanding berada di bumi.

Gadis itu menghembuskan nafas panjang lalu berkata, "Bisa." Seraya tersenyum.

***

Sebuah apartemen sederhana yang Erick sewakan sementara untuk sang calon mertua menetap beberapa pekan di Amerika. Mereka sudah berada tepat di depan pintu utamanya. Erick menatap Jessie seakan tatapan itu berarti. "Boleh masuk sekarang?" Jessie menoleh. Seolah paham, ia mengangguk.

Tombol ditekan, pintu langsung terbuka lebar dengan otomatis. Sepasang mata mereka langsung mendapati sesosok wanita paruh baya yang sangat terlihat berantakan. Wajahnya mencerminkan jika disana banyak sekali masalah yang terbenam. Tapi, bibirnya seolah tak mengenal. Ia selalu tersenyum. Lekuk sabit tak mau enyah untuk terbit disana, meskipun sangat terlihat jelas jika sabit itu sangat memaksakan.

Jessie langsung gemetar. Mata itu, seolah-olah menempatkan dirinya kembali di dimensi ruang yang sudah bertahun-tahun lalu membusuk tertimbun zaman. Dimensi masa dimana kala semua orang menatap ia dengan nafsu yang memburu. Menyentuh tubuhnya dengan gairah yang hampir tumpah. Membelai rambutnya dengan birahi yang membelati.

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang