CHAPTER 50

1.3K 32 1
                                    

Enjoy. Jangan tegang!

"Pa, Ma. Cepat selesaikan pekerjaan kalian. Lalu segeralah mengurus penerbangan ke Amerika. Kita harus bicarakan kapan tanggal pernikahanku dengan Jessie. Jangan lupa, bawa juga adikku Allina!"

Setelah pesan itu berhasil tersampaikan lewat telpon, ada sesuatu yang mendekap tubuhnya dengan kehangatan dari arah belakang. Lantas menoleh, sesosok gadis manis langsung masuk kedalam penglihatan.

"Hei..." Ujarnya halus.
Erick membelai rambut gadis dihadapannya dengan lembut. Ini sudah sangat larut malam, tapi gadisnya belum juga mau terlelap.

"Belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur." Rengeknya dengan suara manja.

"Kenapa? Ini sudah sangat larut, Je." Ujar Erick masih bertahan dengan sapuan lembut di rambut gadis kesayangannya.

"Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi siang." Jessie menunduk dengan lesu.

"Apa menurutmu aku sangat kasar tadi?" Sambungnya.

"Jika tadi siang kau berbicara sesuai dengan apa yang hatimu inginkan, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Jangan sampai jadi beban untukmu, Je. Tidak jadi masalah jika kau tidak menerimanya. Karena menurutku juga wajar. Yang ku minta hanya satu. Dan ku yakin kau sudah tahu apa inginku."

Jessie mendongak dengan perlahan. Ia satukan kening miliknya dengan milik Erick. Deru nafas langsung saling berhembus hangat.

"Jangan membencinya, benar?" Ujar Jessie. Erick lantas mengulas senyum. Ia kecup bibir mungil milik gadis kesayangannya sekilas.
"Jangan sampai!"
"Jangan sampai." Ujar Jessie mengulangi.
"Gadis kesayanganku memang paling pandai. Paling penurut." Ujar Erick seraya mengelus pipi tirus milik Jessie. Gadis itu hanya merespon dengan uluman senyum. Tampak tenang, tampak biasa saja. Walaupun tak ayal dalam sukmanya banyak sekali organ yang mau roboh karena ucapan dan sentuhan Erick barusan.

"Sekarang, kau masuk kamar. Lalu—"
"—Lalu kau temani aku tidur." Ujar Jessie langsung. Gadis itu sukses memotong kalimat yang akan Erick suarakan.

"Ayolah, sayangku. Kau sudah besar. Kenapa tidur saja masih harus ditemani."
"Tidak mau?"
"Tentu saja mau."

Parah. Katanya sudah besar. Masa tidur saja harus selalu ditemani?!?! Tapi, ujungnya mau-mau juga, bukan?

Erick menuntun gadis kesayangannya kedalam kamar, ia tidurkan tubuh mungil itu diatas kasur. Kemudian, duduk di sampingnya. Ia belai rambut pirang itu dengan penuh kasih sayang, "Aku ambilkan dulu air putih." Ujarnya.
"Tapi, aku tidak haus."
"Jaga-jaga jika nanti malam kau terbangun karena mimpi buruk. Air putih baik untuk menenangkanmu." Ujar Erick lembut.

Jessie tersenyum, lalu mengangguk seolah mempersilahkan kekasihnya itu untuk melakukan apa yang diinginkannya.

Waktu tak lama berselang, Erick akhirnya datang. Tentu dengan membawa segelas air putih, ia letakkan segelas air tersebut ke atas nakas. Kemudian kembali duduk diatas kursi yang berada tepat di samping kasur yang Jessie tiduri.

"Hei," Sapanya seraya mengelus pundak mulus milik gadis kesayangannya. Yang disapa tersenyum, lalu merangkulkan tangannya ke leher kekar milik Erick. Sepertinya malam ini gadis itu memang sedang benar-benar ingin dimanja.

Rangkulan itu mengajak tubuh Erick untuk turut berbaring diatas kasur, di samping Jessie. Gadis itu memeluknya dengan sangat erat, rindu sekali sepertinya.

"Je..." ujar Erick lembut sembari terus mengelus puncak rambut Jessie yang kini tengah menaruh kepalanya di atas dada tegap milik Erick.

"Hmm,"
"Kau sudah berbaikan dengan Jovan?"
"Sudah,"
"Sejak kapan?"
"Sejak kau datang, sewaktu malamnya aku sudah berbaikan dengan Jovan."

Erick mengangguk paham.

"Dia sudah tahu jika kita akan segera menikah?"
"Belum ku beritahu,"
"Pasti akan sangat mengejutkan bagi dia, Je."
"Lalu?"
"Lalu kau harus segera beritahu dia."
"Lalu kau akan apa jika Jovan benar-benar terkejut?"

Erick menggeleng. "Tidak akan apa-apa."

"Erick, jangan banyak memikirkan hal yang tak perlu kau pikirkan."
"Tidak ada, Je. Semua yang ku butuhkan sudah berada tepat didalam pelukanku."

Jessie langsung tersenyum. "Apa memangnya?" Tanya Jessie mencoba untuk meyakinkan.

Erick terkekeh sekilas kemudian menjawil hidung mungil milik Jessie dengan manja. "Kenapa kau menanyakan soal yang sudah tahu jawabannya apa, kekasihku?"

Duh, indah sekali.

Setelah itu, mereka sempat terdiam beberapa detik, ya meskipun mulut harus terpaksa sejenak untuk bungkam, ternyata tidak mampu mempengaruhi pelukan Jessie yang sangat erat beserta usapan halus di rambut gadis manis itu yang Erick berikan.

"Er..." Jessie memecah keheningan.
"Apa sayangku?"
Oh Tuhan, lembut sekali suaranya.

"Kau tampak ragu,"
"Ragu? Ragu karena apa, Je?"
"Tidak seperti biasanya kau membahas Jovan."
Erick terkekeh sebentar, namun ia tetap melanjutkan pembicaraan. "Kau tahu perasaanku tak akan pernah ragu jika untukmu, bukan?"

"Aku tahu. Tapi bicara saja jika ada hal yang ingin kau sampaikan, Er. Aku tak ingin kau memendam sendirian."

Ternyata gadisku sudah hafal sekali pada wajahku jika sedang ada pikiran yang ingin aku utarakan. Sekarang, aku tak bisa diam dan berbohong seperti dulu.

"Aku baik-baik saja, Je." Ujarnya hendak menenangkan.
Ia kira dengan mengatakan kalimat demikian, Jessie akan percaya dan mengiyakan. Dan ternyata benar, kini gadis kesayangannya tak bisa ditenangkan hanya dengan sebuah ucapan.

"Kau tahu sedari dulu aku tidak suka ketika kau berpura-pura baik, bukan?"

Benar. Sekarang sulit sekali untukku bersembunyi di belakang kata 'Aku baik-baik saja.' Kepada kesayanganku.

"Maaf, Je."
"Kau sepertinya meragukanku, Er."
"Setidaknya Jovan sangat baik padamu, sayangku. Setiap malam dia selalu menjaga tidurmu."
"Lalu? Kau ingin aku memilih Jovan?"

Atmosfer mencekam kian tercipta, membuat pelukan dari pihak keduanya kian direkatkan.

"Kau tahu Jovan sangat mencintamu, Je?"
"Tahu."
"Aku takut." Lirih Erick. Jessie mencium dada Erick dengan hangat, cukup lama.

"Aku takut kau juga memiliki perasaan yang sama, Je..." Erick lagi-lagi melirih. Dan Jessie kian hangatkan lagi pelukan tersebut, mengerti jika lelaki kesayangannya sedang galau.

"Jika aku memiliki perasaan yang sama kepada Jovan, tidak mungkin sekarang kau ada di apartemenku, memelukku."
"Jovan mencintaimu dengan sangat baik, Je. Aku takut perasaanmu berubah haluan."
"Kau tahu mengapa sekarang aku tidak berubah pikiran untuk mencintai Jovan? Sedangkan ku tahu Jovan mencintaiku dengan sangat baik?"

Erick perlahan menggeleng, kian eratkan lagi pelukan, seolah takut jika ada yang mencuri tubuh mungil kesayangannya itu.

"Karena cara Jovan mencintaiku, tak sehebat bagaimana caramu menyayangiku."

Oh My Bitch (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang