3. Usil

20 4 0
                                    

Setelah selesai merapikan diri, Razi segera bergabung sarapan bersama mama, papa dan adik kecilnya yang kini berusia hampir 2 tahun. Yah, saat dia lulus SMA dia di hadiah oleh orangtuanya bayi kecil yang sangat cantik. Tapi point pentingnya Razi merasa sangat senang karena kini ia memiliki saudara. Toh anak adalah titipan dari Allah. Berarti orangtuanya masih diberi kepercayaan untuk menjaga titipan dari Allah.

Memang banyak diluaran sana yang enggan memiliki adik di usia yang susah diatas remaja. Katanya mereka mengatas dasarkan malu masak udah gede punya adik. Tapi itu tidak berlaku untuk Razi.

“Pagi adeknya mas Razi.” Razi terlebih dahulu menyapa adiknya yang duduk di karpet memainkan bonekanya. Razi menghujami adiknya dengan ciuman diseluruh permukaan wajahnya. Tangannya memeluk erat adiknya, membuat Aruna merasa tak nyaman karena tak bisa bergerak bebas.

Aruna terus merengek ingin dibebaskan. Sedangkan Razi semakin gencar menciumi Aruna. Biasanya Razi akan melepaskan Aruna setelah mendengar tangisan Aruna. Dan Violla! tangis Aruna memecah kesunyian yang ada di rumahnya. Tangan mungil itu memukuli wajah Razi yang malah tertawa melihat aksinya berhasil membuat adiknya menangis.

“MAS RAZI, ADEKNYA JANGAN DIBUAT NANGIS.” pekik mama Razi yang kini tengah membuatkan sarapan untuknya, papa dan juga si kecil Aruna.

“Aduh sakit runa,” kata Razi sambil memasang tampang kesakitan. Padahal pukulan Aruna tak seberapa.

“Udah dong nangisnya, cup cup cup.” Razi langsung menarik adiknya kedalam gendongannya lalu membawa Aruna menuju meja makan.

Aruna mengulurkan tangannya ketika melihat sang papa yang berjalan mendekatinya. Barulah setelah itu tangisnya reda.

“Cengeng banget sih run, digituin aja nangis.” tutur Razi sambil menghapus air mata adiknya. Tak disangka ternyata ucapan Razi malah membuat adiknya kembali menangis.

“Mas Razi, jangan usilin adeknya terus!” kesal mama Razi yang sudah berkecak pinggang.

“Hehe, iya ma.” jawab Razi sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Kalian sarapan dulu aja, Aruna biar sama papa. Kayaknya dia kecapean makanya rewel mulu.” Razi dan mamanya mengangguk lalu memakan sarapannya.

“Ma, Razi berangkat dulu.” kata Razi setelah selesai menghabiskan makanannya.

“Kok tumben cepet banget berangkatnya?” tanya mamanya heran. Tak biasanya Razi berangkat pagi sekali seperti ini.

“Iya ma, Razi ada misi. Doain ya ma, semoga Razi sukses.”

“Iya, hati-hati dijalan.”

Zora menatap datar pada laki-laki yang kini menjemputnya. Zora tak meminta dijemput, pun tak mau dijemput. Tapi kenapa laki-laki yang dua hari lalu datang kerumahnya tiba-tiba sudah berdiri di pilar terasnya.

“Kamu ngapain disini?” tanya Zora. Ia menatap risih pada laki-laki yang kini menatapnya dengan cengiran lebar.
Bukan apa-apa, Zora masih bersikap antisipasi terhadap laki-laki didepannya ini. Ia masih menyimpan rasa takut terhadap laki-laki didepannya ini.

“Jemput kamu.” katanya dengan percaya diri.

“Aku bisa berangkat sendiri.” jawab Zora. Lagian Zora juga sudah biasa berangkat ke kampus dengan trans jogja.

“Hargain dong. Aku udah bela-belain dateng kesini lho buat jemput kamu.” Zora menghela nafas panjang. Apakah salahnya? Bukankah Razi yang mau sendiri untuk menjemput Zora.

“Aku naik trans jogja aja,” ujar Zora. Ia mulai melangkah menjauhi Razi.

“Jangan gitu dong, hargain perjuangan orang. Maka disitu orang yang perjuangin kamu akan merasa bahagia. Dan ketika kamu membuat orang lain bahagian. Maka kamu mendapatkan pahala.” jelas Razi sambil menahan tangan Zora.
Zora menyentak tangan Razi sambil mendengkus.

“Ayo!” katanya.
Razi tersenyum menang karena berhasil membuat Zora berangkat ke kampus bersamanya.

Mereka sudah mengenakan helm dan Razi pun sudah naik motor besarnya itu. Tapi Zora masih bergeming menatap motor Razi.

“Tunggu apa lagi?” tanya Razi.

“Gimana cara naiknya?” cicit Zora.
Razi hampir saja tergelak mendengar pertanyaan Zora. Beruntung juga ia menggunakan helm full face. Jadi Zora tak melihatnya yang kini tengah mengulum senyum.

Razi menurunkan postep motor keduanya. Lalu mengulurkan tangannya agar dipengang oleh Zora. Dengan ragu tangan Zora memegang tangan Razi.

“Pijakin kaki kiri kamu dulu!” perintah Razi yang dilaksanakan oleh Zora.

“Aku harus pegangan dimana?” tanya Zora lagi.

Lagi-lagi Razi hanya dapat mengulum senyum. Mungkin ini pengalaman pertama bagi Zora menaiki motor.

“Kamu bisa pegangan di jaketku atau kalau kamu mau kamu bisa peluk pinggangku.” jawab Razi.

Namun ternyata Zora lebih memilih opi pertama daripada kedua. Padahal Razi berharap Zora memilih opsi kedua.

Barulah setelah itu mereka bergegas menuju ke kampus.

To be continue ...

Love YourselfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang