HAPPY READING 💕💕💕
Di lapangan yang cukup besar, Zora berdiri dipinggir dekat dengan pohon besar yang menutup panas yang terasa membakar kulit. Mata coklat terangnya meneliti setiap sudut lapangan.
Tak sulit menemukan sosok yang Zora cari. Karena Zora sudah begitu hafal dengan tas punggung milik sosok yang ia cari. Laki-laki yang kini menjadi fokus pandangan Zora itu tengah duduk bersama teman-temannya. Tapi fokusnya hanya pada ponselnya.
Dengan langkah sedikit ragu, Zora mendekati kerumunan laki-laki yang tak satu program studi dengannya itu.
“Em ... permisi?” ujar Zora dengan suara kecil. Kedua tangannya saling meremas di belakang tubuh. Kerumunan laki-laki itu terkejut menemukan Zora yang sudah berdiri di hadapan mereka. Mereka pikir ini adalah moment langka yang pernah dilakukan Zora selama ia bersekolah disini.
“Ya, kenapa?” tanya Dion dengan ramah. Ia mematikan rokok yang sedari tadi ia hisap. Laki-laki asal Jawa barat itu menatap Zora penuh keheranan.
“Razi.” Dion mengernyit mendengar kata Zora. Zora memanggil Razi atau bagaimana pikirnya.
“Nyari Razi?” kini suara Ivan yang terdengar ditelinga Zora. Dengan begitu Zora mengalihkan perhatian pada Ivan. Laki-laki yang memiliki tinggi melebihi laki-laki yang ada di kerumunan itu.
“Zi, dicariin tuh!” kata Ivan sambil mengedihkan dagu ke arah Zora.
“Udah tau.” ucap Razi. Ia berdiri dan segera menarik Zora pergi sedikit menjauh dari teman-temannya.
“Itu anak ada hubungan apa sama si Zora?” tanya Rudi yang sedari tadi bungkam memperhatikan teman-temannya.
“Entah,” Dion dan Ivan mengedihkan bahu tak acuh. Buat apa juga ia memikirkan Razi dan Zora. Kalau ada apa-apa pasti kelamaan juga bakal tahu.
“Kenapa, Ra?” tanya Razi ketika telah sampai ditempat semula Zora berdiri untuk mencari Razi.
“Yang kamu omongin waktu itu bener.” Zora menunduk seakan baru saja mengakui kesalahan.
“Enggak seharusnya aku jadi pendiam.” Zora menghela nafas. “Seminggu ini aku enggak bisa ngalihin pikiran aku dari hal ini. Dan karena itu aku jadi bisa introspeksi diri.”
“Kamu benar, Zi. Aku yang salah. Enggak ada untungnya juga aku diam kayak gini. Aku malah rugi. Rugi karena gak punya temen, gak bisa nikmatin masa muda dan rugi waktu.” Razi menatap Zora yang tengah mengucapkan dengan tulus.
“Aku mau keluar dari zona nyaman ini. Aku mau hal baru. Tapi aku mau bantuan kamu. Aku mau kamu selalu ada di dekat aku.” ucap Zora dengan menunduk.
Razi tersenyum kecil. Dia senang mendengar Zora yang ingin berubah. Dengan semangat yang berkobar Razi berujar, “Okay, aku bakal bantu kamu.”
Laki-laki itu memegang dagu Zora yang tengah menunduk. Diangkatnya hingga mata coklat terang itu menatap manik hitamnya. Masih dengan tersenyum kecil Razi mengelus pipi Zora.
“Kenapa musti malu?” tanya Razi. Ia terkekeh pelan mengetahui pipi Zora yang merona. Lucu sekali perempuan di depannya ini.
Zora menggeleng pelan, tambah malu akan sikap Razi. Jantungnya berdetak kencang dan tangannya sudah dingin. Zora benar-benar merasakan gugup.
“Kenalan sama temenku?” tanya Razi ia menatap dalam mata Zora dengan tangannya yang masih berada di dagu Zora.
Kenapa hati Zora berteriak girang dengan perlakuan Razi. Dan kenapa pula ajakan Razi terdengar di telinga Zora seperti kekasih yang akan memperkenalkan pada sahabatnya. Zora berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia tersenyum dan mengangguk pelan mengiyakan ajakan Razi.
“Kamu bisa ngitung gak?” tanya Razi. Ia melepaskan tangannya dari Zora.
“Bisalah,” jawab Zora. Yang benar saja, masa Zora sang juara umum dari jaman SD enggak bisa menghitung. Bukankah Razi juga pernah mengakui kepintaran Zora, lalu kenapa sekarang dia musti bertanya?
“Coba kamu ngitung pakai jari, dari satu sampai lima!” suruh Razi. Ia menahan senyum ketika Zora mulai mengangkat tangan.
“Satu,” Zora menaikkan jari telunjuknya.
“Dua,” Razi masih menahan senyum melihat jari-jari lentik Zora.
“Tiga,”
“Empat,”
“Lima. Bisa kan, anak TK juga bisa ngitung kayak gini.” tutur Zora.
“Mana limanya? Coba liat?” tanya Razi. Jari-jari lentik itu sudah kembali ke sisi tubuh sang pemilik.
Zora menunjukkan kelima jari tangannya pada Razi. Namun hal selanjutnya membuatnya benar-benar tercengang. Pasalnya kelima jari kiri Razi kini mengisi sela jari Zora.
“Tapi anak TK enggak ngelakuin kayak gini,” kata Razi dengan senyum geli. Wajah Zora kembali merona dan dapat ia rasakan tangan Zora yang dingin. Perempuan ini sedang gugup. Razi berani bertaruh jika jantung perempuan yang sedang ia genggam tangannya itu sedang berdisko di dalam dadanya. Dan yang Zora rasa, detakan itu berbeda dengan detakan ketika ia merasa traumanya datang.“Ayo! Biar aku kenalin sama temenku.” tutur Razi. Ia menarik lembut tangan yang sangat pas di genggamannya itu menuju teman-temannya.
“Guys, ada yang mau kenalan sama kalian.” Razi menarik perhatian teman-temannya. Bersamaan dengan itu, Zora menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Razi. Bukannya marah, Razi justru merasa geli bisa membuat Zora salah tingkah seperti ini.
Zora menatap Razi. Ia bingung harus berbuat apa. Ia sendiri tak tahu harus mulai mengatakan apa.
Zora menghela nafas kasar karena Razi malah mengalihkan pandangan.
“Em, hai. Aku Zora.” ucap Zora lantaran sudah Bingung harus bagaimana.Zora merasa kesal setengah mengatakan itu Razi tergelak lumayan keras. Apanya yang lucu.
Perhatian mereka tertuju pada Razi. Baru setelah itu Dion berdiri, berjalan mendekat dan menyalami Zora.“Dion, cowok yang paling ganteng. terutama antara mereka berempat.” ucapnya.
Ia memberi Zora senyum lebarnya. Sedangkan Zora masih terkaget karena Dion tiba-tiba menarik tangannya untuk di sentuh.
Senyum Zora terlihat aneh. Rasa takutnya kembali muncul. Ini tidak baik, sebelum dia mengacaukannya.
Zora segera melepas tangannya dari Dion. Lalu dengan cepat ia berkenalan dengan Ivan dan Rudi. Barulah setelah itu Zora bergegas pergi. Meninggalkan keempat laki-laki yang kini menatap Zora bingung. Juga Razi merasa bersalah karena ia merasa kalau Zora pergi karena ia menertawakan dirinya.Zora masih sulit mengendalikan diri. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi. Tanpa menggubris banyaknya orang yang tengah berdandan di toilet tersebut, Zora langsung masuk ke bilik kamar mandi. Ia memegang dadanya yang berdetak kencang. Lalu beralih menatap kedua tangannya yang juga bergetar. Suhu tubuhnya terasa dingin hanya saja di sisi lain ia seperti merasa gerah. Entahlah, ini sulit digambarkan. Zora memejamkan matanya yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca.
Dan bukannya menghalangi air mata itu keluar, tapi malah membuat air mata itu jatuh mengalir dan semakin lama semakin deras.
“Kenapa sulit sekali?” gumamnya pelan.
To be continued ...
Terimakasih sudah membaca 🙏🙏🙏
Regards,
ROZ
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself
Teen FictionAwalnya Razi hanya ingin membuat Zora berubah. Kebiasaan bercanda dan menggoda membuat Zora baper. Biasa tapi menyentuh dan mungkin, romantis. Zora tak bisa mencintai diri sendiri, tapi kenapa ia bisa mencintai orang lain? Lalu bagaimana dengan Raz...