Untuk pertama kalinya Zora berangkat ketika jam-jam mahasiswa berangkat. Tak seperti biasanya yang berangkat lebih awal. Ini semua karena Razi. Laki-laki itu tak langsung membawanya ke kampus melainkan mengajaknya untuk memfoto kopi beberapa lembar tugasnya di tempat yang terbilang cukup jauh dari kampus.
"Makasih." ucap Zora ketika telah berhasil menuruni motor besar berwarna emas itu. Cukup mencolok memang warna motor Razi.
Zora ingin cepat-cepat menjauh dari Razi. Zora tak suka menjadi pusat perhatian banyak orang di kampus. Ia tak suka membuat masalah. Namun sepertinya Razi tak akan melepaskannya begitu saja. Ia juga merasa risih karena banyak sekali orang berlalu-lalang. Zora biasanya akan merasa pusing jika menatap keramaian. Entahlah kenapa bisa seperti itu.
"Cuma makasih?" tanya Razi sambil mencabut kunci motor. Ia berdiri dihadapan Zora. "Gak ada yang gratis kali,"
Zora terdiam sejenak baru setelah itu dia membuka tasnya, mengambil dompet lusuhnya dan memberi Razi uang berwarna hijau. Razi tertawa ketika Zora menyodorkan lembaran uang berwarna hijau itu. Kepalanya menggeleng pelan, tak percaya dengan kepolosan perempuan di depannya ini.
"Aku enggak butuh uang," Razi mendorong tangan Zora agar menyimpan kembali uangnya.
"Terus aku bayarnya pakai apa? Kamu mau apa?" tanya Zora, matanya menatap Razi bingung. Bukankah tadi Razi bilang tak ada yang gratis. Lalu kenapa Razi menolak uang pemberiannya.
"Cukup dengan jadi temanku." ungkap Razi dengan senyum manisnya.
"Hei! Kenapa diam?" tanya Razi sambil menepuk pundak Zora pelan menyadarkan Zora dari lamunannya.
Zora menatap Razi ragu, banyak hal yang berkelana di pikirannya. Setelah menimbang-nimbang antara iya dan tidak, akhirnya Zora mengangguk kaku.
"Iya."
"Iya apa?" tanya Razi memastikan. Ia menahan senyuman ketika Zora bergumam iya.
Wajah perempuan polos itu mendongak, menatap pada netra hitam yang tingginya melebihi dirinya. Jika dilihat Zora hanya sebahu Razi, ia terlihat mungil ketika bersandingan seperti ini.
"Kita temenan." jawab Zora. Razi tersenyum lebar sambil mengelus puncak kepala Zora.
"Senyum dong!" kali ini Razi menjawil dagu Zora bermaksud untuk menggoda.
"Apaan sih," kata Zora. Tangannya menepis jari Razi yang mencolek dagunya. Sedangkan bibirnya menahan senyum yang seakan ingin sekali muncul dibibirnya.
"Jangan ditahan Ra. Kalau mau senyum, senyum aja."
"Enggak kok." Bantah Zora. Terlihat dari matanya yang sibuk mencari obyek yang bisa mengalihkan perhatiannya, Zora salah tingkah.
Razi terkekeh, "Minta nomor HP kamu!"Zora mengalihkan kembali pandangannya pada Razi. Dahinya sedikit mengkerut pertanda dia sedang berpikir.
"Buat apa?" tanyanya. Di kontak ponselnya hanya terisi nomor orang terdekatnya dan beberapa dosen. Tak ada satupun nomor teman kampusnya. Jadi apakah Zora harus memberi tahu Razi nomornya?
"Buat komunikasi." jawab Razi singkat. Jawabannya sudah cukup membungkam Zora."Bukannya kita teman? Masa kamu enggak kasih ke aku," tambah Razi meyakinkan Zora agar perempuan itu mau memberi tahu nomornya.
"Nih!" tanpa mau mengartikan raut wajah Zora yang entah mau atau tidak memberikan nomor padanya, Razi langsung menyodorkan ponselnya agar Zora segera menuliskan nomornya.
Begitu Zora mengembalikan ponselnya yang sudah tertulis barisan nomor, Razi tersenyum menang. Ia menerima ponselnya dan menyimpan nomor Zora.
"Ya udah sana ke kelas! Nanti pulangnya bareng lagi, aku tungguin di sini." ujar Razi panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself
Teen FictionAwalnya Razi hanya ingin membuat Zora berubah. Kebiasaan bercanda dan menggoda membuat Zora baper. Biasa tapi menyentuh dan mungkin, romantis. Zora tak bisa mencintai diri sendiri, tapi kenapa ia bisa mencintai orang lain? Lalu bagaimana dengan Raz...