Happy reading 💕💕
Tepat pukul 5 sore hari, Difa datang dengan mobil Daihatsu Ayla berwarna merah miliknya. Semula Zora berpikir bahwa ajakan Difa hanyalah omong kosong, namun ternyata apa yang dikatakan Difa benar adanya. Perempuan itu menepati perkataannya yang akan menjemput pukul 5 sore.
Dengan hanya mengenakan Hoodie dan celana jeans, Zora akhirnya berangkat menuju toko buku bersama Difa.
“Aku tuh pengen beli novel, Ra.” ucap Difa memecah keheningan diantara mereka. Sambil menyetir mobilnya menuju daerah jalan Sudirman, Difa mulai menceritakan apa yang akan ia beli di toko buku tersebut.
“Jadi ada novel yang benar-benar aku suka. Cuman waktu itu belum sempat aku beli. Kalau kamu mau beli gak?”
“Iya sekalian.” jawab Zora. Dia menatap jalanan kota Yogyakarta yang lumayan macet. Karena macet gak cuma dirasakan di kota Jakarta, kota Yogyakarta juga sering macet walaupun tak separah Jakarta.
“Kamu mau beli buku apa?” Difa adalah perempuan dengan sifat apatis tingkat tinggi. Terbukti dengan dirinya yang acuh tak acuh terhadap sikap dingin Zora. Mereka memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Dan mungkin jika disatukan mereka bisa saling melengkapi.
“Buku kumpulan puisi.” jawab Zora.
“Kamu suka puisi? Pengarang yang paling kamu suka siapa?” tanya Difa sambil melirik Zora yang sibuk menatap jendela di sampingnya.
“Sapardi Djoko Damono.” jawab Zora sambil membalikkan tubuhnya menghadap Difa.
“Hm aku juga suka tulisannya. Bagus ya semua tulisannya.” ucap Difa sambil membelokkan mobilnya memasuki kawasan parkir toko buku tersebut.
Mereka segera turun dan menuju lantai 2 toko buku tersebut. Setelah sampai di lantai 2, mereka memutuskan untuk berpisah agar lebih cepat dan tak terlalu membuang waktu lama.
Ponsel Zora yang ada di saku bergetar membuat Zora dengan cepat menarik ponselnya keluar dari saku.
Nomor baru, siapa nih? batin Zora.
+62 813 1004 ****
Kamu di gramed ya?Zora mengetikkan balasan pada pesan tersebut.
Siapa?
Taklama ada pesan masuk dari nomor yang sama.
+62 831 1004 ****
Razi. Aku dilantai dasar. Aku tunggu dideket alat fitness.Tak mau susah-susah membalas, Zora segera menuju ke kasir yang ternyata Difa juga sudah berdiri mengantri untuk membayar.
“Udah? Sini sekalian.” kata Difa.
Setelah membayar mereka segera kembali turun ke lantai dasar.“Hei! Zora? Difa?” panggil Razi yang tengah menggunakan alat fitness multi gym. Razi dapat melihat mereka berdua karena letak alat-alat fitness yang memang dekat dengan tangga.
“Abis beli apa?” tanya Razi. Ia turun dan mendekati dua perempuan itu.
“Buku. Lo sendiri ngapain?” tanya Difa.
“Beli bola basket. Punya gue dipinjem anak komplek malah gak balik.” jawab Razi. Zora mengernyit heran dengan bahasa panggilan mereka berdua yang terkesan 'gaul?'.
“Oh.” Difa beroh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu beli buku juga?” tanya Razi dan hanya dibalas anggukan kecil oleh Zora.
“Buku apa?” tanya Razi lagi.
“Kumpulan puisi.”
“Pulang bareng aku yuk?” ajak Razi.
“Tapi aku kan bareng Difa,” tutur Zora. Ia melirik Difa yang tengah memainkan ponselnya.
“Lo pulang sendiri gak apa-apa kan dif?” tanya Razi.
“Gak masalah.” jawab Difa sambil mengacungkan jempol.
“Tapi aku gak enak sama Difa.” ujar Zora penuh penyesalan.
“Kalau gak enak kasih kucing.” jawab Razi sekenanya.
“Sans aja kalau sama aku mah, Ra.” tutur Difa untuk menenangkan Zora.
“Ya udah gue duluan ya?” pamit Difa sambil melainkan tangan.
“Bentar aku bayar ini dulu.”
Setelah itu mereka keluar toko buku tersebut.
“Cari makan dulu ya? aku laper.” ucap Razi. Tangannya mengelus perut datarnya itu.
“Pengen makan geprek deket kampus.” tambahnya sambil mengenakan helm.
Mereka segera menuju rumah makan geprek. Sembari menunggu makanan datang, Razi mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Kamu udah pernah makan disini?” tanya Razi membuka pembicaraan. Pasalanya Razi tahu jika Zora tak akan bicara jika tak dipancing terlebih dahulu.
“Belum.” jawabnya disertai dengan gelengan.
“Zora boleh aku nanya sesuatu?” tanya Razi pelan takut membuat Zora risih dan merasa tak nyaman.
“Tanya apa?” bersamaan dengan pertanyaan balik Zora, seorang pelayan datang memberikan minuman susu putih dan coklat. Susu putih milik Razi sedangkan yang coklat milik Zora. Dan juga dua piring anyam dengan dilapisi kertas minyak berisi geprek kremes tersaji dihadapan mereka.
“Nanti aja kita ngobrolnya.” kata Razi.
“Sini punya kamu aku ambilin nasinya.” Razi menarik piring anyam milik Zora dan berjalan menuju tempat nasi. Memang, di rumah makan ini para pelanggan mengambil nasi sendiri.
“Kok banyak banget?” kata Zora. Ia menatap piring yang baru saja disodorkan oleh Razi. Lalu pandangannya terfokus ke Razi.
“Gak apa-apa. Biar cepet gede.” Setelah mengatakan itu, Razi bergegas mengambil nasi. Nasi yang diambil bisa dibilang sangat banyak. Selalu, laki-laki dengan perut karet mereka.
Walaupun Zora makan terlebih dahulu dan porsinya jauh lebih sedikit daripada Razi, tetap saja laki-laki itu lebih dulu menghabiskan makanannya. Entah Razi yang terlaku cepat atau Zora yang memang lama makannya.
“Kamu tadi mau tanya apa?” tanya Zora. Sebenarnya sudah sejak tadi Zora penasaran dengan pertanyaan yang akan Razi tanyakan padanya.
“Kamu sebenarnya kenapa?” tanya Razi yang terdengar ambigu.
“Maksudnya?” Zora mengerutkan keningnya. Bingung dengan maksud pertanyaan Razi. Apanya yang kenapa?
“Kenapa kamu selalu diam?”
To be continued ...
Gimana part ini? Apa masih membosankan?
Regards,
ROZ
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Yourself
Teen FictionAwalnya Razi hanya ingin membuat Zora berubah. Kebiasaan bercanda dan menggoda membuat Zora baper. Biasa tapi menyentuh dan mungkin, romantis. Zora tak bisa mencintai diri sendiri, tapi kenapa ia bisa mencintai orang lain? Lalu bagaimana dengan Raz...