Part 00

5.1K 424 216
                                    

Namaku Kim Chaeri. Umurku 10 tahun.

Yang membedakan aku dengan bocah lainnya yaitu aku memiliki banyak ayah.

Mereka semua berbeda. Tentu saja.

Ketika Ayah Namjoon selalu bisa merusak setiap barang yang ia sentuh dan juga payah dalam hal memasak, beruntungnya aku masih memiliki Ayah Seokjin yang jago mengendalikan dapur.

Aku masih ingat di suatu pagi pernah merengek lapar. Kapok seharian kemarin aku tak mau makan, padahal semua ayahku sudah melalukan berbagai cara untuk merayu. Ketika memasuki dapur, aku melihat Ayah Namjoon sedang membuat segelas susu. Ia sempat menawariku, tetapi aku menolak dan lantas merengek dimasakan makanan.

Raut tak yakinnya tercetak jelas di wajahnya. Aku sempat tak yakin sebab sebelumnya memang tak pernah melihat Ayah Namjoon memasak. Tetapi, ini darurat. Aku harus makan. Aku tidak mau pingsan.

Dugaanku ternyata benar.

Aku menunggu di meja makan dengan posisi kepala dibenamkan di atas meja serta mata setengah tertutup (sebenarnya aku masih mengantuk) kemudian tiba-tiba dikejutkan teriakan Ayah Namjoon. Aku panik menghampirinya yang jaraknya hanya sepuluh langkah kalau aku tidak salah menghitung. Irisku melebar tatkala melihat apa yang telah terjadi. Dapur berantakan seperti yang kulihat itu bukan pertama kalinya. Tak jauh di dekat lemari pendingin, Ayah Namjoon menatapku dengan cengiran polos. Rautnya seolah meminta maaf telah merusak semuanya. Selanjutnya yang bisa aku lakukan memanggil Ayah Seokjin untuk mengatasi kekacauan ini.

Aku sering kesal setiap meminta Ayah Jungkook menjemputku pulang sekolah tetapi ia menolak dengan alasan sibuk bekerja, padahal aku tahu kalau ia tengah sibuk bermain game. Tidak apa-apa. Aku masih memiliki Ayah Taehyung. Ia selalu ada untukku. Bahkan ia selalu menghabiskan hampir seluruh waktunya denganku ketika tak bekerja. Setiap aku tak bisa memejamkan mata, ia datang dan membacakan buku dongeng untukku.

"Apa malam ini Ayah harus tidur bersamamu?" tanya Ayah Taehyung begitu lembut. Selalu. Aku tak pernah melihatnya marah. Dan, takkan pernah mau.

Aku mengangguk pelan, merapatkan diri dengannya, memeluknya begitu erat. Aku selalu merasa nyaman setiap di dekat Ayah. Aku merasa dilindungi dan disayangi. Tetapi, aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Bagaimana rasanya?

"Kenapa, hm?" Ayah mengusap lembut rambutku memberi kenyamanan. Bibirnya tersenyum tetapi tak mampu membuatku ikut tersenyum seperti biasanya.

Aku mengerjap sebentar sebelum meloloskan pertanyaan, "Dimana Ibu?" sembari menatap tepat di kedua manik ayahku, menuntut jawaban yang lebih jelas.

"Ibumu pergi ke tempat yang indah, Chaeri."

Selalu begitu. Selalu. Bukan pertama kalinya aku bertanya, juga bukan pertama kalinya Ayah selalu menjawab seperti itu.

"Apa Ibu takkan pernah pulang? Takkan pernah menemuiku? Apa Ibu tidak tahu bahwa aku sungguh ingin bertemu dengannya?"

Selalu juga begitu; air mata yang selalu kutahan akhirnya pecah kalau membahas ibu.

Aku selalu iri setiap melihat temanku dijemput ibunya, tangannya digenggam begitu lembut, serta senyuman terlukis di bibir menandakan bahagia. Aku juga ingin merasakan di posisi itu. Ingin sekali.

Teman-temanku seringkali bercerita tentang bagaimana ibu mereka begitu baik selalu membelikan barang kesayangan mereka atau memberi kecupan singkat di kening sebelum mereka terlelap tidur.

Sebenarnya, aku juga mendapatkan itu. Bedanya posisi Ibu digantikan oleh Ayah.

Selain sering menangis sebab aku tak tahu dimana ibuku, aku juga pernah menangis karena dimarahi Ayah Yoongi.

Papa, Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang