Andai saja aku tidak lahir, Ibu pasti takkan mempertaruhkan nyawanya.
Andai saja aku tidak lahir, Ayah pun takkan mengalami masa sulit.
Untuk apa aku lahir kemudian harus hidup tanpa orangtua?
Dunia seolah berubah menjadi gelap. Aku takut. Menangis setiap malam tanpa bisa kuhentikan. Aku butuh pelukan Ibu dan Ayah. Sangat erat, kalau bisa. Tidak bisakah mereka kembali dan menjadikan kami keluarga kecil yang bahagia seperti orang-orang di luar sana?
Mimpi itu.
Mimpi seorang pria tersenyum padaku. Aku baru menyadarinya. Ia nyaris mirip ayahku. Apa mimpi itu mengartikan Ayah Jimin tengah mencoba menemuiku?
Kemarin hari dimana aku jatuh pingsan di dekapan Ayah Yoongi. Ketika terbangun, aku menemukan Ayah Taehyung tengah menunggu dengan panik mengulas di wajahnya. Ia terpaksa mengambil cuti selama dua hari lantaran khawatir jika harus meninggalkanku dalam keadaan sekarang. Akan tetapi sekarang aku tidak membiarkannya bicara padaku.
Bukan marah, tetapi aku sedang butuh waktu sendiri.
Tak jarang air mata jatuh ketika aku melamun. Mataku jadi perih sekali.
Merindukan seseorang yang tak bisa kita temui lagi itu sangat menyakitkan.
Aku masih menatap pantulan wajah di cermin kamar mandi. Benar. Mata kecil dan pipi gembulku mirip dengan Ayah Jimin.
Sebelah tanganku mengulur ke kran wastafel, memutarnya pelan, kemudian air dingin keluar membasahi kulit tanganku. Menggosok-gosokkan telapak tangan dengan pelan. Membiarkan air terus keluar tanpa niat kuhentikan.
Gemercik air tak mengganggu pikiranku yang kini dipenuhi mereka bertujuh. BTS. Sekarang aku mengerti kenapa Ayah tak pernah memberitahuku tentang mereka yang dulu pernah jadi grup musik kebanggaan. Mereka tidak mau aku mengenal sosok ayah kandungku di waktu sekarang. Katanya, belum waktu yang tepat.
Mengambil air di telapak tangan kemudian kubasuhkan ke wajah. Aku melakukannya sebanyak dua kali. Tetapi, tak ada yang berubah. Pikiran yang berkecamuk di dalam kepala tetap tak mau hilang.
Bunuh diri adalah tindakan yang disengaja.
Lalu, kenapa Ayah melakukan itu? Apa Ayah tidak ingin tetap tinggal bersamaku disaat Ibu sudah pergi?
Oh, benar. Pantas, Kakek dan Nenek tidak mau membesarkanku. Karena Ayah saja dengan mudah meninggalkanku. Iya, kan?
Aku mengatur napas yang mendadak sesak. Tak terbayang jika harus lima bahkan sepuluh tahun lagi aku baru akan tahu kenyataan yang sebenarnya. Aku tentu tak ingin hidup dengan banyak kebohongan.
Aku tahu maksud Ayah Taehyung dan lainnya berusaha menyembunyikan semua ini. Mereka ingin melindungiku dari rasa sakit. Namun, mau bagaimana pun kenyataan tetaplah kenyataan.
Lalu, bagaimana jika sebenarnya aku tak bisa menerimanya? Bolehkah aku ikut pergi ke tempat ibu dan ayahku sekarang?
Ketukan berkali-kali di pintu berhasil mengarahkan tatapanku ke sana. Suara berat Ayah Taehyung terdengar dari luar yang berkata, "Apa kamu baik-baik saja, Nak? Perutmu sakit? Sudah hampir 30 menit kamu di dalam kamar mandi."
Mematikan kran wastafel, meraih handuk kecil, lalu mengusap wajahku guna melenyapkan air. Kakiku diseret lemas ke pintu. Ketika dibuka, Ayah Taehyung yang badannya menjulang tinggi sedang berdiri di hadapanku. Mau tidak mau aku harus mendongak seperti biasanya.
"Aku tidak apa-apa, Ayah," jawabku pelan. Tak memberi kesempatan untuknya berbicara lagi, aku lantas melengos meninggalkan tempat.
Rupanya aku salah. Ayah Taehyung tetap bersuara, "Chaeri, kita makan sekarang, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Papa, Can You Hear Me?
FanfictionAyahku seorang bintang. Bintang yang tak pernah lelah menerangi penggemarnya di seluruh dunia. Bintang yang begitu memukau dan menjadi kebanggaan banyak orang. Namun, itu semua tidak lagi setelah aku lahir, katanya.