▌Erstwhile (II)

1.1K 192 72
                                    

Dua tamparan sempurna mendarat di masing-masing pipi Park Jimin.

Satu tamparan dilayangkan oleh ayah Jinri ditambah mengumpatinya brengsek dengan penuh amarah. Isak histeris istrinya pun terdengar, ia terus-menerus menyalahkan Jimin atas kematian putri satu-satunya.

Tamparan kedua yang paling keras hingga pipinya terasa panas dilayangkan dari ayahnya sendiri sebagai bentuk kekecewaan yang amat sangat besar. Tatapan lembut yang selalu Ayah berikan kini berubah menjadi tajam dan gelap sama halnya awan kelabu. Jimin bahkan masih ingat ayahnya mengatakan tak ingin lagi melihat wajah anak sulungnya itu.

Tak cukup sampai itu, kejadian di rumah sakit tempo hari jadi perbincangan banyak orang. Banyak artikel yang membahas kejadian itu dimana sebagian isinya mencuri kesempatan untuk menyebar berita yang belum tentu jelas dan bahkan dilebih-lebihkan.

Begitu pula akun Twitter yang dipegang ketujuh pria tersebut dibanjiri para penggemar dan haters yang tentu saja merasa senang mengetahui masalah yang Jimin hadapi sekarang. Ungkapan kekecewaan. Umpatan kasar. Kalimat-kalimat menyalahkan. Caci-maki yang tiada henti. Semua itu dibaca oleh Jimin dengan mata memanas luar biasa. Perasaan bersalah semakin bergumpal di dalam dirinya. Dadanya terlampau sesak ketika memikirkan tak ada satu pun kini yang percaya lagi padanyaㅡhingga ia tak menyadari eksistensi teman sekamarnya tengah memandangnya di ambang pintu kamar.

Pemuda itu mendekat, mengusap pelan surai Jimin dan sukses membuatnya mendongak. "Simpan ponselmu," ucapnya.

Tentu, itu bukan sekadar ucapan. Jung Hoseok tengah membujuk Jimin agar berhenti mempedulikan komentar-komentar negatif yang terus memenuhi kolom balasan. Melihat sahabatnya itu masih tak merespon, ia pun terpaksa merebut alih paksa ponsel Jimin lalu menyimpannya di atas nakas.

"Hyeongㅡ"

"Sudah berapa lama ia tidur?" tanya Hoseok berusaha mengalihkan topik lalu mendaratkan diri di tepi kasur, seulas senyum terbit ketika ia melirik buntalan menggemaskan yang sedang terlelap tidur di sebelah Jimin.

Jimin ikut melirik sang buah hati lalu menjawab pelan, "Sejak sore tadi." Kemudian ia kembali menatap Hoseok. "Hyeong, maaf sudah mengganggu tidurmu kemarin malam. Aku memang payah dalam urusan menenangkan bayi."

"Tidak apa-apa, Jim. Santai saja," sahutnya cepat.

Rapper BTS tersebut mendadak teringat semalam Jimin menimang-nimang bayinya yang menangis kencang, mencoba menenangkannya agar tertidur kembali. Senandung-senandung lembut terlontar dari bibir Jimin berharap si bayi bisa merasa tenang.

Selain itu, ada satu hal lain yang tak ia lupakan juga. Ketika keheningan kembali merayap, sang bayi sudah tertidur, kemudian samar-samar Hoseok mendengar Jimin terisak diam-diam. Ia ingin sekali bangun lalu menemani Jimin, menguatkannya dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

"Sepertinya aku akan pindah ke apartemen baru." Jimin kembali berujar namun kali ini tanpa menatap sahabatnya itu.

Si lawan bicara lantas terkesiap sesaat. "Kenapa kamu ingin pindah? Apa alasannya karena bayimu? Jimin-ie, serius, aku tak keberatan."

"Entah, aku pikir sekarang situasinya berbeda."

"Kamu tidak sedang menghindar, kan?" selidik Hoseok. Jimin tak menjawab. Melihat keadaan Jimin sekarang saja sudah membuatnya khawatir, apalagi membiarkan sahabatnya itu tinggal sendirian dengan bayinya. Hoseok tentu tak ingin membiarkan Jimin menghabiskan malamnya hanya untuk membaca komentar-komentar mengerikan yang bisa saja berdampak pada kesehatan mentalnya. "Tetaplah di sini, Jimin. Aku mohon."

Jimin menghela napas pendek. "Mungkin hanya untuk beberapa hari lagi saja. Setelah itu aku akan pindah ke apartemen baru."

"Kamuㅡ"

Papa, Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang