Part 06

1.3K 252 146
                                    

Aku memang marah saat Ayah menjahiliku mengatakan umurku akan bertambah jadi 12 tahun bila aku bisa menghabiskan semangkuk nasi. Padahal itu akal-akalannya saja supaya aku mau makan.

Aku memang marah saat Ayah menghabiskan cemilanku begitu saja tanpa izin.

Aku memang marah saat Ayah pernah gagal mengikat rambutku padahal tinggal lima menit lagi bel sekolah akan berdering.

Aku memang marah saat Ayah berjanji akan pulang tetapi nyatanya tidak dengan alasan ada kerjaan mendadak.

Itu semua bisa kumaafkan, tetapi tidak dengan apa yang sempat Ayah Taehyung katakan saat tadi mengobrol dengan Ayah Seokjin.

Kata siapa Ayah gagal?

Apa maksud dari kata gagal?

Aku bisa berbicara, berjalan, membaca, menulis, mengetahui banyak hal, dan lainnya—siapa lagi jika bukan Ayah yang mengajariku? Jadi, dimana gagalnya?

Aku duduk di depan cermin kamar sementara di belakang ada Ayah Taehyung sedang menyisir rambutku. Hanya dentang jarum jam dinding terdengar merambat di udara. Aku hanya bisa memerhatikan gerak-gerik ayahku itu—tetapi tatapanku seolah tak bisa mengganggunya.

"Ayah," panggilku pada akhirnya dan hanya dibalas dehaman pelan.

Aku tak langsung melanjutkan lantaran kembali memerhatikan Ayah Taehyung yang sekarang sedang mengikat rambutku tanpa kesulitan lagi. Ayah Taehyung pernah mengaku ia sering menonton tutorial mengikat rambut di Youtube. Katanya, ia tidak mau membuatku marah lagi karena usahanya selalu gagal.

Menelan saliva gugup kemudian aku memberanikan diri untuk berkata, "Aku tidak ingin kembali pindah ke Daegu. Aku ingin di sini dengan Ayah."

Ayah Taehyung melirikku lewat cermin dengan bibirnya mengulas senyum tipis. Hanya itu saja.

Jari-jariku dimainkan dengan gelisah di atas paha. Ayah Taehyunh mengikat rambutku begitu lembut tetapi tetap tak bisa mengusir gelisah. Sesekali aku menunduk lalu kembali mendongak dan menatap lurus ke cermin. Kini rambutku sudah diikat rapih.

Setelah menyimpan sisir berwarna pink di atas meja, Ayah Taehyung berlutut di sampingku dan kini hanya wajahnya saja yang tertangkap cermin.

"Ayah juga tidak bisa membayangkan jika kamu pindah ke Daegu," katanya dan sukses membuat keningku berdenyit. "Nanti tidak ada lagi yang akan menghabiskan omelette punya Ayah," lanjutnya setengah terkekeh.

Kedua tanganku langsung mencubit pipinya gemas. Bukannya kesakitan, ayahku malah cekikikan. Aku berkata dengan geregetan, "Ayah yang sering menghabiskan makananku, tahu!"

Aku menekan kedua pipi Ayah Taehyung hingga bibirnya maju. Ayah jadi terlihat lucu sekali dan aku tak bisa menahan tawa terlebih saat ia berkata dengan bibirnya mengerucut, "Puppu?"

Menggeleng sebagai jawabanku dan tak disangka serangan kedua tangan Ayah Taehyung menggelitik tubuhku tanpa ampun. Tawa kami meledak seketika.

Puas saling menggelitik kemudian Ayah Taehyung memelukku dalam satu hitungan. Ia menempelkan pipinya ke pipiku kemudian menatap pantulan wajah kami berdua di cermin. Senyum kotak miliknya begitu lebar membuatku tak bisa untuk tidak ikut tersenyum.

"Kenapa mataku lebih kecil daripada punya Ayah?" kataku setelah memerhatikan wajah kami berdua. "Pipiku juga besar hingga sering dikatai gembul," kesalku.

"Bagaimana tidak gembul jika kerjaanmu makan terus?" timpalnya kemudian tertawa kecil saat menyadari raut kesalku. Ayah Taehyung mengecup sekilas pipiku. "Tidak apa-apa. Sudah begini saja lucu."

"Lucu apanya?" tukasku. "Dicubit terus itu sakit, tahu."

"Dicubit siapa, tuh?"

Aku mendelik malas. "Siapa lagi kalau bukan Ayah?"

Papa, Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang