Please don‘t be a silent reader. At least leave a vote. Thank you. :)
Api meretih dan mulai menjilati satu per satu kayu. Cahayanya merah dengan ujung-ujung kuning menerpa wajah Ayah tengah mempertahankan kobaran api yang menari-menari di saat angin musim semi menerpa cukup dingin. Aku ikut bergabung duduk di depan api unggun dengan jaket tebal dan kebesaran milik Ayah Seokjin tersampir di punggungku. Jaket itu membuatku jadi terlihat semakin kecil. Yah, begitulah yang sempat dikatakan Ayah Jungkook. Selanjutnya tak ada yang membuka suara lagi. Beberapa cemilan dan sosis bakar menemani kami. Ditambah beberapa botol minum dan satu kotak jus guava favoritku.
Di antara asap tebal yang mengepul tinggi disertai letupan-letupan api, aku melamun. Memikirkan sikapku sore tadi yang seharusnya aku tak boleh seperti itu. Melihat apa yang Ayah lakukan sekarang cukup kuat menghantam hatiku dengan rasa menyesal. Jadi, memang benar, ya, aku ini anak nakal?
"Hey." Ayah Jungkook berjongkok di sampingku, memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajahku. Aku tersenyum tipis ke arahnya kemudian ayahku itu melanjutkan, "Sudah tidak marah, hm?"
Menggigit bibir bawah yang hanya bisa kulakukan. Bahkan rasanya aku tak ingin mengaku kalau tadi sempat marah. Lagipula, marah untuk apa?
"Untuk malam ini, kita camping di sini dulu saja, ya?"
Aku dengan cepat menyahut, "Tidak apa-apa, Ayah. Aku menyukai ini, kok."
Ayah Jungkook tersenyum. Jemarinya membelai puncak kepalaku. "Kau menyukai ini?"
"Sangat," jawabku seraya beringsut mendekat ke arahnya, memeluk badannya dari samping, menumpahkan perasaan sedih yang sejak tadi tersendat di tenggorokan. Air mataku kembali berjatuhan terus-menerus tanpa bisa kucegah. Aku berusaha menahan isakan tetapi tidak bisa. Ayah bertanya ada apa dengan nada khawatir sambil membalas pelukan lebih erat. Menarik napas lalu menghembusnya perlahan sebelum aku menjawab dengan terputus-putus lantaran terlalu banyak menangis, "A-ayah, maafkan a-aku."
"Kenapa meminta maaf, hm?" Ayah Jungkook membalas lembut, terlebih tepukannya di bahuku kelewat menenangkan. Ia berbicara lagi setelah mengecup lembut puncak kepalaku, "Harusnya Ayah yang meminta maaf karena belum bisa menuruti permintaanmu. Kamu tahu, kami—"
"Tidak, tidak! Jangan berkata seperti itu! Ayah tidak salah!" Aku sengaja memotong ucapannya dengan sedikit berteriak karena sudah kutebak Ayah pasti akan mengatakan sesuatu yang bisa membuatku menangis lebih keras—bukan menyakitkan, tetapi sedih. Kueratkan remasan tanganku di hoodie yang melekat di tubuh Ayah Jungkook sambil membenamkan wajahku di dadanya guna meredam isakan. Aku bahkan bisa merasakan bibirku bergetar hebat.
"Lho? Tapi, Ayah belum selesai bicara—"
"Jangan! Tidak mau! Aku tidak mau mendengarnya!"
Di sela-sela isakan yang masih belum bisa kutahan, terdengar kekehan ayahku. Aku yakin Ayah Seokjin pasti akan tertawa paling keras kalau ia tak mati-matian menahan tawa begitu. Tidak peduli. Yang penting sekarang aku sedang sedih.
"Sshh. Jangan menangis." Perlahan melepas pelukan, pandanganku sempat buram sebab ada air mata masih menggenang di dalam. Irisku mengerjap lalu air mata itu keluar yang lantas diseka ibu jari Ayah Jungkook. "Bukankah Chaeri anak yang kuat?" ujarnya lembut dan menenangkan.
Kedua tanganku segera mengusap wajah yang sudah penuh dengan air mata bahkan hingga ke leher.
"Ada dua tenda. Berarti yang satu diisi dua orang, dan satunya lagi diisi tiga orang." Ayah Hoseok berkata sambil menunjuk satu per satu tenda.
Aku lantas menyahut setelah tangisan mereda, "Aku ingin tidur dengan Ayah Seokjin!"
"Bagus." Ayah seokjin mengacungkan ibu jarinya ke arahku. Aku tersenyum puas. "Berarti kalian," katanya lagi sambil menunjuk ketiga ayahku yang lain. "Tidur bertiga di tenda yang itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa, Can You Hear Me?
FanfictionAyahku seorang bintang. Bintang yang tak pernah lelah menerangi penggemarnya di seluruh dunia. Bintang yang begitu memukau dan menjadi kebanggaan banyak orang. Namun, itu semua tidak lagi setelah aku lahir, katanya.