ARUNIKA (3)

85 7 0
                                    

Tepat pada tanggal 12 Desember 2018, aku di antar Gio untuk menuju ke lokasi yang nantinya aku akan berlomba dengan peserta-peserta lain hanya demi mendapatkan sebuah penghargaan yang selama ini aku mimpikan.

Waktu itu, ayahku sengaja menyuruh Gio mengantar aku, beberapa hari yang lalu Gio memang sudah bilang mau ikut ke lokasi perlombaan. Katanya dia mau menyemangatin aku.

Tiba di lokasi aku langsung masuk mencari tempat penginapan yang sudah disediakan, panitia sengaja menyediakan tempat penginapan karena lomba akan berlangsung selama dua hari.

Aku menyambut gelar juara memang bukan hal mudah, tetapi ketika kita mau berusaha gelar kejuaraan akan datang dengan sendirinya. Aku bersiap-siap karena kompetisi akan segera di mulai.

"Semangat Frensia" Ucapnya sambil mengangkat tangan memberi kode semangat.

"Eh, iya makasih Dir".

Entah apa yang di rencanakan nya sampai dia mampu berkata seakan-akan aku adalah miliknya. Sempat gugup, namun segera ku lupakan, ku buang jauh-jauh.

Dua hari telah ku lalui di tempat yang cukup melelahkan itu merasa bosan dengan suasana, merasa lelah dengan tantangan. Namun tak sekalipun Gio merasa sama denganku, dia selalu terlihat santai, selalu terlihat senang.

Walau sebenarnya aku pun tak tahu, hal apa yang bisa membuatnya begitu, atau karena? Ahh tidak mungkin. Aku dan dia hanyalah teman yang tidak lebih dari sahabat, aku seperti di lorong yang gelap, sunyi.

Lelah aku di timbulkan oleh informasi bahwa aku tidak masuk final, aku hanya bisa masuk sepuluh besar hal itu membuatku sangat pilu. Mengingat perjuangan akan lelahnya latihan, hingga pada akhirnya aku tumbang harus dirawat di rumah inap selama tiga hari.

Kata dokter mental aku memang sedang drop, entah bagaimana jadi sambung menyambung menjadi penyakit typus. Selain harus di rawat di rumah sakit yang membosankan ini, aku tidak diperbolehkan sekolah untuk sementara.

"Ahh bosan!" Keluh aku.

Untung saja mereka datang, yang aku maksud mereka adalah teman-teman sekelas ku, ada juga yang dari geng nya Gio tetapi setelah ku perhatikan aku tidak sedikitpun melihat bayangan Gio.

"ke mana dia?" Gumamku dalam hati.

Dibalik belasan orang yang datang menjenguk aku, ternyata ada seorang yang dari tadi mengamati aku. Seolah-olah dia tahu apa yang aku rasa.

"Gio tidak ikut." Bisik nya tiba-tiba.

Aku tersentak batuk ringan. Diambilnya segelas air putih yang ada di meja samping tempat ku berbaring, lalu air itu kuminum. ketika semua orang masih ngobrol, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya.

"Kok tahu?" Jawab aku serius.

"Tahu lah" Jawabnya ketus.

Putri yang mengetahui bahwa aku sedang bercakap-cakap dengan Edgar langsung menghampiri aku karena dia takut jika terjadi apa-apa dengan aku.

Putri adalah sahabat yang baik, dia adalah seseorang yang dapat menampung mencari masalah aku hingga aku dapat keluar dari masalah itu, kecurigaan Putri terhadap Edgar yang tiba-tiba mengajak aku bicara dikarenakan jika Edgar adalah salah seorang yang suka terhadap aku, Namun masalah terbesar nya adalah karena Putri yakin Edgar laki-laki yang playboy. Putri yakin betul karena mereka sudah saling mengenal sejak SMP dahulu.

"Hati-hati Fresi" Bisik Putri kepadaku.

Setelah Edgar sedikit menjauh dari tempat tidur aku, aku tahu maksud Putri, aku memilih untuk tidak menjawab hanya mengkode dengan mengedipkan sebelah mata kanan ku kepadanya, dan dia pun mengerti.

Sudah dua hari kepulangan aku dari rumah sakit, namun aku belum juga diperbolehkan untuk masuk sekolah. Rasanya seperti terkurung dalam lorong yang buntu. yang membuat pikiran ku tambah buntu yaitu ketika aku ingin bertemu Gio, ke mana saja dia.

Sejak aku dirawat dirumah sakit selama tiga hari dia tidak pernah menjenguk aku, aku maklumin hal itu. Setelah aku pulang dari rumah sakit dia pun tak kunjung datang kerumah untuk menengok aku. Kurasa dia tahu kalau aku sudah ada dirumah, karena ibuku dan ibunya sering mengobrol bersama ketika sore senja hari, jadi kangen mengobrol dengan Gio.

Aku lirik kalender yang tertempel di dinding di atas meja kecil di samping tempat tidur aku, kurasa besok adalah tanggal 20 Desember, di mana surat izin ku sudah tidak lagi berlaku yang artinya aku sudah diperbolehkan masuk sekolah.

Saat itu, aku berjalan cepat-cepat untuk menempuh waktu 2 menit agar sampai di sekolah sebelum gerbang ditutup. Aku sempat lengah saat menyeberang di jalan raya, sehingga aku hampir ditabrak motor yang melaju dengan kekuatan yang cukup tinggi. Untung saja ada Edgar yang mendorong aku ke bahu jalan sehingga aku dapat terhindar dari maut itu.

Semua orang terkejut melihat tingkah aku dan Edgar itu, mereka hampir berjalan setengah berlari untuk mencoba menolong aku yang terjatuh di pinggir jalan, namun seketika seperti ditahan oleh Edgar supaya mereka menjauh pergi melupakan kejadian itu.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya nya sambil menyodorkan tangan untuk membantu aku berdiri.

"Tidak apa-apa, cuma keseleo dikit".

"Harus buru-buru di kasih obat itu".

"Tidak usah, nanti juga sembuh".

"Sampai lebam begitu kamu bilang Cuma?" Akhirnya Edgar memaksa aku pergi ke UKS untuk mengobati luka itu.

Aku pasrah walaupun sebenarnya aku sedang menahan sakit, aku bukan ingin berbohong atau apa, sebenarnya lebih memilih untuk tidak merepotkan orang lain termasuk Edgar. Dia sudah menolong aku tadi saja aku sudah bersyukur.

Saat itu Edgar adalah kakak kelas aku, dia menepati kelas 12 IPA 4. Sejak itu kami saling mengenal berteman, ternyata dia juga anggota ekstrakurikuler Pramuka remaja, maka dari itu kedekatan kami dimulai.

Yang kumaksud kedekatan adalah dekat benar-benar kedekatan hati, dia sering menghampiri aku saat jam istirahat, dia sering mengajak aku makan di kantin dia juga sering mengantar aku pulang. entah mengapa aku tidak bisa menolak tawarannya ketika mengantar aku pulang. Entah mengapa hubungan di antara kami pun makin dekat.

Hingga pada semester genap kami resmi berpacaran, tepatnya tanggal 14 Februari pada saat tim Pramuka remaja sekolahku mengadakan traveling menaiki gunung. Saat itu tidak ada romantis-romantis nya, aku yang dipenuhi keringat, pun dia juga begitu tetapi saat itu aku senang sekali.

Keesokan harinya kami turun bersama matahari yang cerah dan cuaca yang bersahabat, seolah mengantarkan kepulangan kami dari puncak gunung tersebut. Hari itu aku lelah sekali, beres-beres, mandi, makan, lalu tertidur pulas.

Entah mengapa aku teringat sosok Gio, sudah lama sekali dia tidak kerumah aku. Bahkan di sekolah pun saat kita bertemu tidak sedikitpun ada kata-kata yang terucap, apakah dia marah? Tapi soal apa.

"Berbahagialah bersama pacar barumu Frensia". - Pesan di telepone.

Aku terkejut mendapati pesan singkat semacam itu dari Gio, aku tidak tahu maksudnya, aku olah, aku cerna kalimat singkat tersebut. Seiring berjalan nya waktu, aku menemukan jawabannya.

"Maafkan aku Gio". - Balas aku ke pesan itu.

Bulan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang