Beberapa jam sebelumnya, di festival kembang api.
Dengan tangan yang sudah memenuhi kapasitas muatannya, Takahiro berusaha tidak tertinggal terlalu jauh dari Toru yang berjalan di depannya di tengah keramaian arus manusia yang berbondong-bondong pergi ke ujung jalan. Ingin ia berteriak pada Toru bahwa ia tertinggal, tetapi niatan itu ia urungkan menimang betapa malunya dirinya berlakuan seperti anak perempuan manja.
Ia mendecakkan lidahnya keras melihat rambut kecokelatan Toru yang semakin menjauh dan tubuh besar temannya itu semakin ditelan ombak manusia. "Wa--tunggu, Toru-san," keluhnya, tetapi nampaknya Toru tidak mendengar suaranya di tengah keributan seperti itu. Lima menit bertahan di derasnya arus, langkah Takahiro akhirnya terhenti. Kepalanya celingak-celinguk mencari sosok besar Toru yang seharusnya mudah terlihat.
Haruskah ia pergi ke satpam terdekat dan melaporkan bahwa uh... ia tersesat? Tentu tidak. Harga diri seorang Takahiro sangat tinggi, tidak mungkin ia mau melakukan hal itu.
Baru saja ia hendak memikirkan arah mana yang harus ia tuju, seseorang di tengah keramaian itu memegang tangan kirinya, tangan itu besar, sejenak ia berpikir itu milik Toru, tetapi pikiran itu langsung tereleminasi pada saat Takahiro menyadari betapa dinginnya tangan itu, sementara tangan Toru hangat dan menenangkan.
Siapa?
Tanpa aba-aba sama sekali, tangan itu menariknya, membuatnya terhentak dan menjatuhkan sosis bakarnya. Tangan entah milik siapa itu terus menariknya hingga keluar dari jalanan ramai, Takahiro bisa melihatnya kini, si pemilik tangan itu.
Jantung Takahiro seolah lepas dari tempatnya. Yang menariknya adalah paman penjaga stand botak itu. Sontak, Takahiro menghentikan langkahnya, ia mulai menarik-narik tangannya berusaha untuk lepas dari cengkraman si botak. Akan tetapi kucing pun tahu, tubuhnya yang jauh lebih kecil tidak berdaya apapun dibandingkan dengan tubuh preman paman itu. Pasrah, Takahiro membiarkan dirinya dibawa ke gang sempit dekat jalanan utama.
Di sana, paman itu menghempaskan tubuh Taka ke dinding sebuah bangunan dari batu bata.
Takahiro melenguh kesakitan ketika punggungnya menabrak dingin dan kerasnya batu bata. Ia membuka mulutnya hendak protes, "Ap--hmpfff!" dan langsung terbungkam begitu saja ketika tangan dingin si botak itu menyumpal mulutnya.
"Dengar, shounen," ujar paman itu kasar, "aku tidak ingin begitu keras padamu, jadi dengarkan apa yang kukatakan seperti anak baik dan aku tidak akan menyakitimu, oke?"
Sempat Takahiro memaki paman itu dengan sorot matanya, tetapi pada akhirnya, ia mengangguk setuju. Paman itu lantas melepaskan bungkamannya dan mengambil secarik kertas dari sakunya.
"Moriuchi Takahiro, 'kan?"
"Apa maumu?" tanya Takahiro galak.
"Wow, tenang, jangan berisik. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu, sesuatu yang akan membuatmu menyesal jika tidak menggubrisnya."
Takahiro tidak berkomentar, ia menunggu.
"Atasanku ingin bertemu denganmu, atasanku ini seorang yakuza, jadi kau tidak perlu berharap akan... bisa kembali lagi ke kehidupan normalmu sekarang.
"Ia tertarik dengan kemampuan menembakmu dan ingin merekrutmu, bagaimana? Kau akan dibayar, hidup enak, tidak seperti hidup di panti asuhan."
Takahiro mengeraskan rahangnya. Siapapun atasan si botak, yang pasti ia sudah mencari tahu tentang dirinya. "Dan kaupikir aku akan mau?" ketusnya.
"Ah... tentu tidak, jadi Beliau menyuruhku memperlihatkan ini," paman itu menyodorkan secarik kertas padanya yang langsung membuat hatinya mencelos dan matanya menatap tak percaya ke arah kertas itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]
Фанфик[TORUKA FANFICTION] Toru menemukan jejak untuk menemukan teman baiknya, Takahiro, yang hilang sebelas tahun lalu, tetapi kedua temannya yang lain, Ryota dan Tomoya, justru skeptis dengan petunjuk yang Toru temukan dan curiga Takahiro telah terlibat...