Please read the warnings preceding the prologue beforehand, sorry for publishing it too late.
***
"Aku... menemukan jejak Takahiro."
Kata orang, kata-kata itu ajaib. Mampu mengubah sesuatu yang paling bebal sekali pun. Jika itu benar, Toru baru percaya kala ini. Perkataannya yang ditujukan pada Tomoya dengan ajaibnya menghilangkan kuasa Tomoya akan pegangannya di kedua ketiak bayinya, mengakibatkan satu tangannya tergelincir satu, untung saja ia dalam kondisi memangku anak manis itu, kalau tidak, sudah berabe dia.
Mata Tomoya bergulir memandang Toru dengan sorot kekagetan yang luar biasa. Meski samar, Toru bisa melihat bola mata gelap khas orang Asia itu tidak dapat diam, hilang fokus. Mata itu, yang biasanya sipit karena banyak tersenyum, membulat tanpa senyum ceria khas Kanki Tomoya. Dan yang paling membuat Toru aneh, bukan hanya sorot terkejut yang Tomoya tampakkan melalui matanya, melainkan juga sorot ketakutan.
Senyap menjadi yang keempat di antara mereka. Keduanya terdiam dalam kesunyian canggung yang tidak menyenangkan dengan sensasi aneh sekaligus berat di dada mereka. Bagi kedua orang canggung ini, sekarang, suara lantang televisi di pojok kafe yang menayangkan persiapan pemilihan-perdana menteri tahun ini tak berhasil masuk ke gendang telinga mereka, atau, bila pun masuk, hanya sekadar lewat tanpa meninggalkan jejak.
"Tomoya?" panggil Toru hati-hati.
Jelas si ayah tersentak. "A-ah... be-begitu... kau menemukannya petunjuk... ya?" Ia bergumam tergugu, menahan sakit. Perutnya melilit. Sesuatu menggelitik perut, menciptakan sensasi aneh, yang juga sangat tidak menyenangkan. Seperti tidak makan tiga hari.
Sementara dua orang dewasa tanggung itu terdiam, di pangkuan Tomoya, bayi yang tidak bisa membaca suasana sibuk mengoceh tak jelas. Bermain ciluk-ba sendirian dan membuat suasana lebih canggung dari yang seharusnya. Tomoya berdehem sejenak dengan gugup. Tangannya bergerak menyapu leher belakangnya, lalu merayap menghampiri gelas kopi dinginnya. Dengan tegukan cepat, ia meneguk cairan pekat itu demi menghilangkan rasa pasir yang pahit di kerongkongannya, dan, dengan gerakan patah-patah, ia bangkit sambil menggendong anaknya dan berkata lemah, "Tunggu, aku akan menitipkannya pada istriku, ini... di luar bayanganku."
Toru mengangguk maklum sambil memperhatikan Tomoya yang mendorong kereta bayi ke luar kafe.
Tak sampai satu menit, bapak berambut hampir keriting itu sudah berjalan kembali dan duduk berhadapan dengan Toru. Hilang sempurna wajah cerianya. Peluh justru tampak jelas. Umur pun terbaca dengan mudah. Tomoya menatap Toru dengan serius, ekspresi yang amat jarang ia tampakkan. Setelah menyesap sedikit minumannya kembali, Tomoya mulai berkata dengan nada yang sudah jauh lebih terkontrol, "Katakan apa yang kau temukan."
Mata Toru mengawasi Tomoya yang bergerak gusar di seberangnya. Tomoya bereaksi lebih dari yang ia duga. Mengakhiri pindaiannya terhadap perubahan yang ditunjukkan Tomoya, Toru mengambil ponselnya, lalu memilih satu berkas di antara sekian banyaknya berkas. Sebuah berkas video. "Ini," katanya sambil meletakkan ponsel itu di meja agar Tomoya bisa melihat.
Video itu berupa rekaman cctv sebuah toko jam tangan. Rekaman itu berisi rekaman keadaan normal di sebuah toko. Toko yang antik. Perabotannya masih berbahan kayu, mungkin mahoni yang dipoles. Rak kaca berisi puluhan--mungkin ratusan jam tangan dijajakan, dengan bingkai kayu dan kaca sebagai pelindung dari copet yang nekat. Penjual dan pembeli berinteraksi. Tawar menawar terjadi. Satu-dua pelanggan meninggalkan toko. Benar-benar normal, toko biasa tanpa keunikan, sampai pada menit kedua, Toru, demi menarik perhatian Tomoya, menunjuk pintu toko jam itu. Dua orang memasuki toko itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]
Fanfic[TORUKA FANFICTION] Toru menemukan jejak untuk menemukan teman baiknya, Takahiro, yang hilang sebelas tahun lalu, tetapi kedua temannya yang lain, Ryota dan Tomoya, justru skeptis dengan petunjuk yang Toru temukan dan curiga Takahiro telah terlibat...