Chapter 8

327 31 7
                                    

------

WARNING!!
This chapter contains violences.

------

"Bukankah itu berita bagus?" Dengan menggebu-gebu layaknya anak kecil diberi hadiah, Ryota yang baru mengetahui bahwa Taka menjadi sekretaris permanen menyerbu Taka dengan pertanyaan, seperti apa Taka akan tinggal di Tokyo, atau semacamnya. Untuk menanggapi hal itu semua, Taka hanya memberi gelengan pelan, ia belum memikirkannya. "Pasti akan hebat jadinya jika kita bisa berkumpul lagi seperti dulu," ujar Ryota, raut bahagia terlihat jelas di wajahnya, membuat dua orang yang lain menelan ludah paksa.

"Aku masih belum tahu, jangan terlalu berharap," tukas Taka.

"Tapi, boleh 'kan aku berharap, Mori-chan?"

"Sudah kubilang panggil aku Ta--"

"Taka-saaann?"

Spontan, Taka seolah ditarik paksa dari lamunannya. Tanpa ia sadari, ia sudah sedari tadi menatap berkas kosong yang terpampang di layar komputernya. Dan tanpa ia sadari pula, seorang karyawan sudah menatapnya dengan sorot ingin tahu tentang apa yang ia lamunkan.

"Y-ya?" tergagap, Taka mencoba setengah mati bersikap seperti biasa.

"Bisa juga orang seperti Anda melamun di tengah-tengah pekerjaan," tawa karyawan itu garing, "yah, tentu bisa, Anda juga manusia. Lupakan, saya tadi bertanya tentang berkas yang Calon Perdana Menteri butuhkan, apa sudah siap?"

"Ya, tentu," ujar Taka sambil meraih sebuah berkas yang sudah ia letakkan dengan rapi di dalam sebuah map cokelat.

"Dapat diandalkan seperti biasa," puji karyawan itu, "terima kasih, sampai jumpa di rapat terakhir, dan selamat atas promosimu!"

Taka tersenyum tipis menimpali dan mengangguk sopan. Begitu karyawan tadi pergi, pandangannya lantas jatuh kembali pada layar dengan warna putih mendominasi. Akhir-akhir ini pikirannya kacau. Hanya tinggal menghitung hari hingga dia harus berangkat ke perhitungan suara, lalu mencurangi perhitungan yang dilakukan secara digital itu, dan pemilu akan dimenangkan oleh kliennya. Epilogue-nya, ia akan menjebak Yamashita Tatsuo agar dituduh mencurangi pemilu. Itu akan membuat Yamashita Tatsuo akan berakhir.

Juga para pekerjanya.

Dan keluarganya.

Apa benar itu yang akan ia lakukan?

Jika memang iya, apa yang akan ia dapatkan dengan kemenangan Matsuno Hibiya? Apa yang Aniki sebenarnya cari dari Matsuno menjadi perdana menteri? Kuasa? Bah, semudah membalikkan telapak tangan, Aniki dapat melakukan itu tanpa bantuan Perdana Menteri. Lalu apa?

Taka menghela. Lagi, ia kembali terjebak dalam lingkaran setan itu. Pertanyaan yang sangat sulit ia dapatkan jawabannya, karena jelas sekali Aniki menyembunyikan sesuatu. Lagi, Taka menghela.

Tak jauh darinya, di mejanya, Toru mengamati Takahiro yang tampaknya sedang gundah itu. Tanpa diberi tahu pun, Toru tahu, keputusannya menjadikan Taka sekretaris permanen pasti menambah beban pikiran Takahiro, belum ditambah dengan pertemuan mereka dengan Ryota semalam. Meski tidak mengakuinya, terlihat jelas bahwa Taka lebih rileks, lebih Takahiro daripada sebelum-sebelum ini.

Toru mengangguk pada dirinya sendiri. Sudah ia bulatkan tekad, ia akan berbicara pada Taka pada istirahat makan siang nanti.

***

"Ini, kopi tanpa susu," ujar Toru sambil menyodorkan segelas cairan kecokelatan dengan uap mengepul. Keduanya sudah berada di kafeteria kantor, di tempat paling pojok. Dengan senyuman tipis dan ucapan terima kasih yang pelan, Taka menyambutnya. "Bagaimana?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang