Chapter 3

197 28 6
                                    

"HAATSYIII!!!"

Taka bersin untuk yang ketiga kalinya. Ia mendongak, melakukan hobinya. Di atasnya, kubah langit berawan Tokyo menjulang. Bulan sudah memasuki bulan-bulan musim dingin. Tidak akan ada orang yang heran jika keesokan hari ia bangun, pekarangannya sudah diselimuti selimut putih beku yang tebal dan jalanan keluar yang terblokir.

Udara dingin menusuk itu cukup dingin membuat Taka menggigil dalam perjalanannya menapaki tangga pesawat yang membeku. Tubuhnya yang kurang berisi lemak tidak cukup memberikan kehangatan ekstra. Meskipun begitu, ia tidak berani memakai mantel tebal berwarna kuning yang bertengger setia tanpa sempat terpakai di pintu kamarnya di rumah klasik besar di Osaka, itu akan menghambat pergerakannya jika suatu saat ada musuh menyerang.

"Sebenarnya, apa itu Coloring?" tanyanya dengan gigi bergemeletuk pada Miura di sebelahnya. Keduanya kini sudah menghempaskan pantat mereka di jok mobil jeep dengan roda besar yang berpacu cepat. Lampu remang-remang berwarna oranye di langit-langit mobil menerangi masing-masing wajah, sementara di dashboard depan, penghangat berusaha keras menurunkan rona merah di kedua wajah itu.

"Tanyalah pada Aniki," suruh Miura, "aku bukan orang yang tepat memberitahukan dirimu hal itu."

"Oh, tentu," ejek Taka menanggapi, "menyebalkan sekali."

Menyebalkan, sangat, bahkan sampai sekarang, saat mereka sudah menginjakkan kaki di Tokyo, penembak ulung itu belum mendengar dengan pasti apa itu Coloring, meski setidaknya ia kini tahu kliennya adalah seorang calon perdana menteri yang cukup berpengaruh. Pimpinan kelompok yakuza itu, yang mereka panggil Aniki, menolak memberi tahu Taka tentang hal itu dan berkata akan menjelaskan di perjalanan nanti. Alih-alih ikut pergi ke Tokyo, ketua itu justru memiliki jadwal lain yang begitu mendesak. Sebagai ganti menemani Taka, Miura diturunkan. Karena itu pula, mood Taka hancur sejak kemarin.

Mobil yang mereka tumpangi senyap sampai celetukan Miura memecah kesenyapan. Mata cerdas Miura lalu bergulir mahir seiring dengan menyuarakan kata-kata yang baru saja Aniki kirimkan, "Katakan pada Taka, yang ia harus lakukan hanya melindungimu, tetapi jika mengancam nyawa, kau saja yang mati, itu katanya, wah, kejamnya," gumam Miura kemudian menatap Taka yang menolak menatapnya, "Aniki benar-benar menyayangimu, hm?"

Demi kesopanan belaka, Taka membalas dengan dengusan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pimpinan mereka memang memfavoritkan Taka di segala bidang. Taka pun tahu hal itu, tetapi tidak pernah mau mengakuinya. Hal itulah yang ia lakukan sekarang, ia lebih memilih menatap jendela mobil yang menampilkan bayangan kabur malam kota Tokyo yang tidak pernah tidur. Sudah lama sekali ia tidak ke kota tempatnya hidup belasan tahun lalu, terakhir, saat penyelundupan budak yang hendak diperjualbelikan. Itu operasi yang cukup melelahkan. Masih berbekas di ingatannya, ia langsung tidur dan tidak bangun-bangun selama empat belas jam lamanya di cabang rumah mereka di pingiran Tokyo setelah operasi itu.

Bicara tentang cabang rumah mereka, rumah itu berkebalikan sekali dengan yang di Osaka. Rumah itu minimalis, berpenampilan dan berfungsi modern. Tiga kali Taka pergi ke sana membuatnya hapal jalan ke rumah itu. Dan mobil jeep ini tidak membawanya ke sana, melainkan ke pusat keramaian Tokyo. "Tidak ke rumah?" tanyanya pada sopir, yang dia lupakan namanya setelah berkenalan beberapa menit lalu.

"Tidak, Taka-sama," jawab si sopir tanpa memandang Taka, kepalanya sedikit menunduk seolah Taka berada di depannya, "kita akan langsung pergi ke restoran tempat klien menunggu."

"Oh..."

Taka kembali menyandarkan pelipisnya ke jendela mobil. Semakin mereka masuk ke pusat Tokyo, semakin akrab pemandangan di sana bagi Taka. Bukan karena itu dilaluinya sebanyak tiga kali, melainkan karena itu tempat bermainnya dulu. Itu juga yang membuat semakin sakit ulu hatinya. Ingin ia bertemu kawan-kawan lamanya, tetapi, di saat bersamaan, ia juga tidak ingin melihat wajah mereka saat mereka mengetahui seperti apa dan betapa kotornya dirinya sekarang.

Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang