Chapter 4

187 28 14
                                    

Hari semakin tua, matahari semakin meninggi. Kala itu terlampau cerah untuk musim dingin. Tirai-tirai telah dibuka. Berharap matahari yang jarang muncul itu dapat memuaskan dambaan mereka sejenak, mengusir bau apak contohnya.

Meskipun begitu, matahari bukanlah dambaan semua orang. Yamashita Toru adalah satu dari sekian sedikitnya orang yang tidak mendambakan sinar matahari yang hangat. Kamarnya di pusat Tokyo gelap dan dingin. Tirai ditutup rapat. Pintu sama rapatnya dengan dinding. Jangan tanya masalah jendela, itu hal konyol karena ventilasi pun tidak terbuka. Kamar itu nampak tidak berpenghuni sekarang, meski sebenarnya penghuni itu sedang berada di dalam bersama suara daging yang menghantam benda tumpul. Sibuk meninju dinding tak bersalah.

"Sial. Sial. Sial."

Itulah yang terulang sejak ia pulang dan menghabisi tembok tak berdosa itu.

"Apanya yang Morita Taka?!" Bentaknya keras hingga menggema mengalahkan suara daging yang terhantam. "Sebelas tahun, bedebah!"

SRAAK!

Robek. Kertas dinding yang menempel sejak kamar itu dihuni Toru robek.

Entah karena merasa bersalah merobek kertas dinding itu atau karena kepalan tangannya mulai berdarah, Toru berhenti menggampar tembok dan mengistirahatkan dirinya yang tersengal. Sekarang tembok malang itu dijadikan sandaran. Toru mengubur dalam-dalam wajah letihnya di antara kedua lengan yang bersimpuh dan lutut yang tertekuk. Kepalanya memukulnya keras-keras sekarang. Memikirkan apa yang Takahiro lakukan selama sebelas tahun dan tiba-tiba muncul seperti itu membuatnya lelah secara mental. Perutnya perih dan mual begitu menelan spekulasi yang negatif. Dadanya pun sakit. Entah karena tadi kehabisan napas setelah adu jotos dengan tembok atau karena takut.

Benar, takut.

Yamashita Toru takut jika Takahiro benar-benar menjadi anggota suatu yakuza. Ia takut Takahiro akan berakhir menjadi musuhnya. Belum genap tujuh hari ia mendengar kabar itu dari Tomoya, kini orang yang disebut-sebut sudah muncul seenak jidat di hadapannya, egois sekali. Tetapi bukankah itu memang sifat Takahiro? Egois dan cuek. Bukankah itu menunjukkan Takahiro tidak berubah?

Toru mendengus, kanji yang jelas-jelas bukan 'Moriuchi Takahiro' terlintas di pikirannya.

Ia merogoh sakunya, sedikit kesusahan karena kakinya yang tertekuk. Tangannya kini menggenggam kertas tipis yang nampaknya terbuat dari kertas berkualitas, kartu nama berwarna putih gading. Sorot sendu terpancar dari mata sekertaris itu. Hanya tersisa 'Mori' dan 'Taka' dari Takahiro sebelas tahun lalu.

Mengabaikan sentakan tak nyaman di perutnya, Toru mengambil ponselnya dan mengetikkan nomor-nomor yang tertera di kartu tipis itu. Bukan untuk menelepon, melainkan hanya sekadar berkirim pesan. Pesan yang singkat, namun cukup membuat dada Toru bergemuruh menunggu turunnya malam.

Temui aku di kantor utama jam tujuh malam. Aku sendirian.

***

"Ada apa?"

Morita Taka kini sudah duduk nyaman di kursi berlengan impor di cabang rumah mereka, di pinggiran Tokyo, jauh dari hiruk pikuk kesibukan dunia, tetapi cukup dekat untuk pergi ke minimarket dengan berjalan kaki. Tak jauh dari Taka, Miura tengah sibuk dengan laptopnya, merevisi sana-sini rencana mereka karena pergantian si tupai, dan fokusnya terpecah ketika ponsel baru Taka berbunyi tadi.

"Bukan apa-apa, hanya mama minta pulsa," tukas Taka. Jarinya handal bergerak di atas layar sentuh, langsung menghapus pesan yang baru sampai. "Kapan dia datang?"

"Hm, jam sembilan malam, mungkin juga lebih lama, delay, Osaka sudah putih sekarang."

Taka mengeluh pelan. Miura tersenyum simpul menanggapi. Taka memang selalu resah jika dikabarkan ketua mereka akan menyusulnya. "Jangan begitu," ujar Miura bijak, "tak bisakah menunjukkan sedikit hormat atau... sayang pada Aniki? Lagipula, kalian seumuran bukan?"

Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang