Prologue

367 30 1
                                    

No one can separate us.

Or so what I used to think.

***

Di pojok sebuah kafe di Melbourne, Australia, di meja paling ujung yang bahkan mungkin orang-orang tidak menyadari ada meja di situ, di tempat yang terlindung oleh bayang-bayang gelap, duduk seorang lelaki berumur hampir tiga puluh tahun. Di depannya, gelas kopi yang sudah lama kosong dibiarkan, juga dua gelas lain sisa air putih yang ia pesan. Lelaki itu tidak berniat memesan menu lain. Atau meninggalkan meja gelapnya. Ia hanya duduk menunduk sambil memainkan ponselnya entah melihat apa.

Pegawai penjaga kasir--tentu saja ia tahu ada meja di sana--menatap meja itu lamat-lamat. Pasalnya, jika sudah selesai memesan, pelanggan seharusnya pergi agar pelanggan lain bisa duduk. Itu peraturan tidak tertulisnya. "Err... boss," bisiknya pelan pada lelaki berwajah oriental yang nampaknya atasannya, "that man, he has been sitting there for three hours now..."

"Realry?" ujar bos itu dengan huruf 'r' dan 'l' yang masih terkesan mirip. Kasir itu mengangguk. Bos berambut pirang fluffy itu memutar matanya ke arah pria yang dimaksud. Benar juga, sebelum ia pergi ke kamar mandi untuk buang air besar, dilanjut makan siang, dan mengurusi beberapa hal mengenai bisnis, pria berambut merah hampir ungu itu masih setia di tempatnya.

"Perhaps... a friend of yours?" tanya pegawai itu, mencoba menebak.

"Never have any acquiantance with that kind of hair though..." gumam si bos mengomentari rambut merah si pria yang memang mencolok. Ia tersenyum sedikit, teringat olehnya ketiga teman dekatnya sering mewarnai rambut mereka, dulu. "I will try asking."

Bos itu melepaskan apron yang mengantung di lehernya dan berjalan menuju si pria. Ada perasaan aneh menyelimutinya ketika tubuhnya semakin dekat dengan meja gelap itu. Postur tubuhnya memang tidak asing, terasa akrab, sekaligus menyakitkan entah mengapa. "Excuse me sir, how can I he-rp you?"

Pria berambut merah yang menunduk itu tersentak sedikit, jelas-jelas ia tidak sadar bos kafe tempatnya berada sudah berada di sampingnya. Lelaki itu meletakkan ponselnya di atas meja, lalu mendongak. Menunjukkan wajahnya kepada si bos kafe untuk pertama kali dalam tiga jam. Rambut depannya tersibak, menampakkan wajah orientalnya yang dihiasi mata mengantuk, tahi lalat di dekat mulut bagian kanan, dan anting-anting keperakkan.

Bos itu tersentak sehingga mundur selangkah, untuk sejenak, ia lupa caranya bernapas. Tetapi dengan segera, ia kembali bisa mengendalikan dirinya, "To-Toru..."

Pria berambut merah yang dipanggil Toru itu tidak menjawab, tetapi menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan si bos untuk duduk tepat di hadapannya, di meja gelap itu.

"Aku--" gugup si bos, kini dengan bahasa yang ia kuasai, Jepang.

"Duduk, Ryota," perintah Toru seenak jidat. Ia sudah duduk merugikan kafe selama tiga jam, dan kata yang ia keluarkan pertama kali dengan suara beratnya hanyalah perintah kepada si bos, Ryota.

Kini, Ryota yang menunduk, matanya menatap kaki pelanggan yang hilir mudik berjalan di sekelilingnya, apapun boleh, asal bukan Toru.

"Ryota--"

"Jika," Ryota memotong, dalam hati, Ryota sendiri takjub ia bisa memotong perkataan Toru, "jika... jika kau ingin berbicara tetang dia, lupakan saja, aku sibuk."

Toru mendesah kesal, "Duduklah dulu," tawarnya seolah dia yang memiliki tempat ini.

Ryota menggeleng kuat-kuat. Biarkan ia tampak seperti pengecut, ia tidak peduli.

"Ryo--"

"Kau tidak berubah, Toru... selalu dia, dia, dan dia," tuturnya dengan suara yang makin pelan, "apa kau menjaga diri dengan baik? Apa kaupikir dia juga memikirkanmu? Tidak..." dia meralat kata-katanya, "apa kaupikir dia masih hidup dan punya waktu memikirkanmu?"

Rahang Toru mengeras, ia berdiri, "RYOTA!" dan menggebrak meja dengan keras dan membuat gelas-gelas kosong terguling, bahkan jatuh ke bawah dan pecah.

Sontak, kafe itu menjadi lengang. Berpasang-pasang mata menatap dua orang berwajah oriental itu dengan pertanyaan yang sejenis. Ada apa?

"Masih tabu, ya?" Ryota tersenyum kecut dan berbalik hendak pergi. "Aku bukannya tidak ingin bertemu denganmu... hanya saja... jika membicarakan dia... Mori-chan... aku tidak sanggup. Dan oh, kau tidak usah membayar, aku yang traktir."

Ryota berbalik pergi dan mengabaikan Toru yang menatapnya nanar. Akan tetapi, bukan Toru namanya jika menyerah. Dengan langkah tegas, lelaki Jepang itu berjalan cepat dan meraih pergelangan tangan teman masa kecilnya, lalu memaksanya bertatap mata.

"Jika kau tidak sanggup, beri aku nomor Tomoya," perintahnya, "aku yakin dia akan ikut mencari Takahiro."

Ryota menggigit bibir. Nampaknya, tidak ada yang bisa menghalangi Toru jika sudah begini. "Jangan salahkan aku jika itu sia-sia."

***

Tujuh jam kemudian, Toru menatap kursi kosong di depannya. Ia sudah berpindah posisi, dari Australia ke Jepang, dari kafe milik Ryota, teman masa kecilnya, ke kafe milik seseorang yang tidak ia kenal. Tujuannya pun berubah. Dari mengajak Ryota, menjadi mengajak Tomoya. Dari mengajak, menjadi memaksa.

Ia harus mendapatkan aliansi.

"Toru!"

Toru merespons dengan segera suara akrab yang sudah lama tidak terdendang di telinganya. Ia membalikkan tubuhnya, berharap Tomoya, teman dekatnya yang satu lagi, akan muncul dengan tubuh gempalnya, rambut kehijauan yang berkibar, dan senyuman hangat yang bersemangat hingga ia bisa 'mengajaknya' dalam rencananya. Akan tetapi, rencana itu segera ia urungkan begitu yang tampak di depannya adalah Tomoya yang mendorong kereta bayi. Dengan bayi di dalamnya.

"Tomo...ya?"

Kereta bayi yang didorong Tomoya akhirnya teparkir di dekat meja Toru, lelaki berambut kehijauan itu memberi Toru cengiran riang nan lebarnya, "Hehe, aku menikah tahun lalu," tuturnya.

Katakanlah Toru adalah teman yang tidak baik, ia tidak gembira sedikit pun dengan kabar menikahnya Tomoya, bahkan, sudah memiliki anak. Dengan status Tomoya sebagai ayah dan kepala keluarga kini membuatnya urung memaksa Tomoya. "O-oh..." gumamnya pelan.

"Lalu, kenapa tiba-tiba ingin ketemu?" tanya Tomoya sambil duduk dengan memangku anak yang ternyata berjenis kelamin lelaki.

Toru diam sejenak. Dalam hatinya terbesit rasa takut Tomoya-lah yang justru memaksanya untuk ikut serta mencari teman mereka, tetapi ia juga merasa berkewajiban memberi tahu Tomoya apa yang ingin ia sampaikan karena Tomoya termasuk ke dalam lingkaran pertemanan kecil mereka.

"Aku..." ujarnya pada akhirnya, "aku menemukan jejak Takahiro."

***

Pada waktu yang bersamaan di belahan Jepang yang lain, lelaki berambut hitam kelam merapatkan jas hitam formalnya. Tubuhnya tergesa-gesa berjalan beriringan lelaki lain dengan jas cokelat dan mantel kelabu. Udara sejuk tapi cukup dingin di Jepang membuat lelaki berjas cokelat itu menggigil sedikit, "Apa kau tak apa?" tanyanya pada lelaki berjas hitam.

Lelaki berjas hitam, yang nampaknya merupakan bawahannya, mengangguk sopan tanpa mengubah ekspresi wajahnya, percuma ia bilang bahwa ia kedinginan. Keduanya terus berjalan menyusuri gang gelap yang sumber cahayanya hanya bergantung pada bulan. Mereka berkelok sekali dan kemudian berhenti di depan sebuah rumah reyot dan penuh tambalan di sana-sini.

"Cepat selesaikan," ujar lelaki berjas cokelat sok memerintah, tetapi wajahnya yang terhalang bayang-bayang gelap bangunan di sekitarnya mengulas senyum jenaka, tidak ada raut ketegasan sama sekali, "dan kita bisa pulang untuk merayakannya."

Lelaki berjas hitam mengangkat alisnya bingung, merayakan apa?

"Enam tahun bergabugnya dirimu," jawab lelaki berjas cokelat itu, senyumnya mengembang.

"Ah..." lelaki berjas hitam bergumam, "sudah selama itu..."

"Ya..." kata lelaki berjas cokelat itu lagi. Tubuhnya berbalik menatap kawannya, "dengar, kita memerlukan kesaksiannya, jangan dibunuh."

Sekali lagi, lelaki berambut hitam itu mengangguk di tengah bayang-bayang bangunan yang diterangi sinar rembulan. Tangannya menarik pistol hitam legam dari sarung kulit di pinggangnya.

"Jangan berlebihan, Taka."

"Aku tahu."

--TBC--

Toruka: In The Eye of The Storm [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang