Tamu undangan tidak lagi banyak berdatangan, sebagian besar justru meninggalkan gedung karena telah tertahan di dalamnya selama berjam-jam. Satu laki-laki dan satu perempuan melihat orang yang berlalu lalang tanpa tahu harus berkata apa.
Faraz tadi telah sukses menyapa orang tua Kamila, bahkan terlihat menyenangkan dari sudut pandang Kamila yang hanya menyimak. Tidak banyak yang dibahas, seputar Drupadi, Ardan dan kakak mereka. Ayah dan Bunda Kamila sangat mengenal baik Keluarga Surya Aryawan, jadi tidak heran perbincangan singkat di dalam tadi menumbuhkan lagi keinginan Faraz untuk berkunjung ke Surabaya.
Iya, berkunjung. Tidak menetap. Faraz telah memiliki tanggung jawab yang besar di sini. Semenjak sang ayah terkena stroke, beban yang harus dipanggul Faraz kian besar. Adiknya satu laki-laki dan satu perempuan. Sebagai anak sulung, dia harus memastikan adik-adiknya tumbuh dengan baik dan beradab. Meski Mamanya memegang andil lebih besar dalam mendidik ketiga putra putrinya tetap saja yang namanya anak sulung menjadi sandaran pertama di hari tua.
Kembali kepada Kamila, perempuan itu menahan hijab yang sempat tersibak dari dada karena hembusan angin. Siang yang mulai mendung, tidak lagi seterik tadi.
"Kamu kenapa gak bilang kalau ke sini?" Pertanyaan Faraz yang membuat Kamila menoleh. "Aku gak kontak kamu lagi, maaf."
"Mas tau aku di sini?"
Inginnya berbohong tapi tidak bisa. "Tau, dari Ardan."
"Terus? Nyari?"
Faraz memberanikan diri menatap wajah Kamila. "Enggak."
"Berarti kita impas, gak ada yang harus minta maaf." Kamila tersenyum tipis.
"Nomer kamu ilang." Faraz tidak tahu apa ini salah satu excuse yang baik, tapi memang kenyataannya seperti itu. Dan bodohnya, dia tidak melakukan usaha apapun untuk kembali menghubungi Kamila. Tepatnya tidak sempat karena kondisi Sang Ayah yang menurun drastis kala itu.
"Iya gak apa-apa."
"Ponselku eror, nomer di dalamnya korup sendiri, La."
Kamila sama sekali tidak mau mengingat bagaimana keresahannya kala itu menunggu balasan dari Faraz setelah mereka makan malam bersama untuk terakhir kalinya. Mungkin memang salah berharap Faraz akan menghubunginya lebih sering karena kenyataannya Faraz tidak melakukannya. Kalau nomer hilang, kenapa tidak tanya Drupadi lewat Ardan? Sepertinya Kamila tidak bisa -atau belum bisa, menerima alasan Faraz.
Sial! Kenapa malah jadi berpikir ke arah sana? Kamila tidak memperbolehkan hatinya untuk berharap lebih.
"Namanya juga barang, ada masa kadaluarsanya." Kamila yang semula duduk akhirnya beranjak. "Kayaknya ada yang nunggu kita, Mas."
"Kamu mau ke mana?"
Kamila mengerjap pelan, "masuk ke dalam, memang mau ke mana lagi?"
Faraz tidak tinggal diam saat Kamila melangkah meninggalkan dirinya. Diikutinya langkah perempuan yang semakin membuat hatinya tidak karuan. Ternyata melupakan Kamila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Baru saja komit dalam hati untuk merelakan Kamila pergi, eh bertemu dalam hitungan kurang dari satu jam sudah membuat hatinya oleng.
"Ketemu Mamaku ya, La."
"Hem?" Kamila menoleh ke samping, "gimana?"
Faraz menghela nafas panjang, diberanikan menggandeng pergelangan tangan kiri Kamila. Dia sampai senekat itu ketika tidak ada para sahabat yang mengenal keduanya.
"Jangan gandengan, Mas. Gak boleh."
"Aku mau lepasin kalau kamu mau ketemu sama Mamaku."
"Buat apa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/153122427-288-k13303.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mijil [Macapat Series]
Romance[Tamat] 2nd Book of Asmarandana Sifat Mijil adalah welas asih, pengharapan, laku prihatin dan tentang cinta. Tembang macapat Mijil banyak digunakan sebagai media untuk memberi nasihat, cerita cinta, dan ajaran kepada manusia untuk selalu kuat dan ta...