Dulu paginya Drupadi biasa saja, tapi enam puluh tiga hari terakhir terasa luar biasa. Dulu dia tidak repot berpikir setelah subuhan di akhir minggu mau apa, tapi sekarang ia harus berpikir mau masak apa. Dulu dia dengan mudah memutuskan pergi ke mana-mana, sering alpha mengabari Narendra. Tapi sekarang beda, ada seseorang yang harus tahu di mana ia berada.Dulu dan sekarang berbeda.
Seperti pagi ini. Membangunkan si suami salah satu tugas rutin, kadang Ardan lebih dahulu terbangun sih, cuma memulai untuk terlepas dari jeratan kasur yang susah. Drupadi baru tahu kalau pelornya Ardan melebihi Narendra. Dan laki-laki itu kalau tidur harus punya barang buat dipeluk. Kebalikan dari Drupadi yang tidurnya pencilakan. Alhasil ketika membuka mata, tubuh mungil Drupadi sudah dijadikan gulingnya Ardan.
"Pak Ardan, bangun!"
Si suami bergeming.
"Mas Ardan, banguun." Drupadi menepuk-nepuk lengan suaminya. Menghasilkan erangan kecil keluar dari bibir Ardan.
"Mas, pegel badanku mbok tindih gini. Ya Allah tega banget, ini kaki segede gaban."
Ardan dengar, dia memindahkan posisi kakinya dari tubuh Drupadi. Terlentang dengan bibir setengah terbuka. Ini salah satu yang membuat sisi kegantengannya luntur.
Lega. Drupadi kini menatap ke samping, dilihatnya si suami masih terpejam. "Mingkem, mas." Jarinya mengatupkan bibir Ardan. Lagi-lagi si suami pasrah.
Kamu tu kok cakep banget sih? Banyak yang naksir mesti. Kadang Drupadi berpikir, masak iya hidup suaminya itu lempeng tanpa ada godaan perempuan lain? Masak Drupadi is the only one in his world? Kalimat sok Inggris barusan terdengar wow!
Tidak percaya.
"Mas, bangun." Jari Drupadi mulai usil, menjelajah di semua sudut wajah suaminya, sengaja biar yang punya wajah terganggu.
"Hidung segenter gini ngabisin pasukan oksigen. Ini juga punya idep lebat panjang ngalahin punyaku." Drupadi iri dengan proporsi wajah suaminya. "Nanti aku tutorial make up pinjem wajahmu ya, mas?"
"Mau ngapain?" Masih terpejam, suara Ardan terdengar serak. Dia sebenarnya sadar cuma males melek.
"Buat praktek molesin maskara." Jawaban Drupadi terdengar manja. "Kalau dikasih eye shadow warna dark juga bagus."
Ya Salam!
"Kamu kok usil banget sih?" Kini Ardan menyamping, kaki kanannya kembali menimpa tubuh Drupadi.
Drupadi terkekeh, ia memutuskan untuk tidak memberontak. Disentuhnya ujung hidung suaminya, diamatinya lekat-lekat bekas jerawat peninggalan jaman remaja. Dia bahkan hafal ada bekas luka di pipi kiri Ardan. Semua terlihat jelas setelah mereka menikah.
Benar kata Ayana, kalau sudah menikah mau sentuh-sentuh suami mah bebas. Maskipun deg-degannya sampai sekarang masih tidak bisa hilang. Kadang kalau Ardan pulang di akhir minggu, sikap manjanya tidak ketulungan. Mintanya meluk terus, ndekem di dalam kamar berbuat yang neko-neko, sampai Drupadi terpaksa mandi besar di siang hari. Padahal besok paginya begitu lagi. Ardan juga.
Duh! Laki-laki di mana-mana sama aja, maunya menang banyak. Tapi untungnya bapak satu ini nunggu halal baru dar der dor, kalau sah kan enak. Tidak takut dilaporin Pak Surya ke polisi. Uhuk!
"Dru...," mata Ardan akhirnya terbuka.
"Hem, bangun! Udah setengah lima loh."
Ardan mengerang sekali lagi. "Sepuluh menit lagi. Usel-usel lagi rambutku gih." Ardan mengambil tangan kiri Drupadi, diarahkan pada surainya yang acak-acakan. "Go go go."
Ya ampun. Kalau seperti ini mau subuhan jam berapa, Pak Ardan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mijil [Macapat Series]
Roman d'amour[Tamat] 2nd Book of Asmarandana Sifat Mijil adalah welas asih, pengharapan, laku prihatin dan tentang cinta. Tembang macapat Mijil banyak digunakan sebagai media untuk memberi nasihat, cerita cinta, dan ajaran kepada manusia untuk selalu kuat dan ta...