09_Anugerah

2.2K 378 82
                                    

"La."

"Hem?"

"Kita masih bisa ngobrol kan?" Faraz membuat tanda telepon dengan jemarinya ditempelkan pada telinga kanan. Seolah meminta persetujuan apakah ia bisa menghubungi perempuan di hadapannya.

Awalnya Kamila berpikir kalau pertemuannya dengan Faraz tidak akan semenarik ini. Kenyataannya, meski ia berusaha menampik jika presensi laki-laki itu membuatnya bahagia –mungkin sesaat, tapi hatinya merasakan seperti apa yang disangkal. "Nomerku masih sama."

Faraz menunduk sebentar setelah mengangguk, lalu dimundurkan langkah saat Kamila berjalan menuju pintu pagar. Dia memberi senyum sebagai tanda perpisahan. "Oke, aku pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas."

------

Jam menunjukkan angka tiga lewat empat puluh menit. Surabaya belum memasuki waktu subuh, namun Drupadi telah terbuka matanya. Ia masih berada di atas kloset duduk, matanya kian membulat saat melihat tanda dua garis –meski garis satunya samar.

Ini beneran?

Drupadi menutup bibir, setelah mengumpulkan nyawa, ia segera beranjak merapikan kamar mandi lalu membuka pintu. Dilihatnya Ardan masih terlelap, karena ia berpikir ingin memastikan apakah asumsinya benar. Mba Ana. Batinnya, ia menghampiri pintu kamar lalu cepat-cepat turun ke bawah. Meninggalkan Ardan yang tidak sadar Drupadi tidak lagi dipeluknya.

Sesampainya di depan kamar Narendra, Drupadi memutuskan untuk mengetuk pintu. Ditunggunya sesaat, ada Ayana yang mengenakan daster lengan panjang membukakan pintu.

"Kenapa, Dek?"

"Mbak udah sadar belum?"

"Ha? Maksudnya?"

Drupadi menarik pelan tangan Ayana untuk menjauh dari pintu, lalu ditutupnya lagi. Membuat Ayana menengok ke belakang, bingung.

"Duduk yuk, Mbak."

Ayana menurut saat Drupadi menuntunnya menuju meja makan. Mereka duduk bersama, dilihatnya wajah Drupadi terlihat bersemangat. "Ada apa sih?"

"Mbak," Drupadi menyodorkan test pack yang sedari bermenit lalu tidak puas ia pandangi.

Kening Ayana mengernyit, diambilnya benda kecil bergaris dua tersebut. "Ini punya kamu, Dek?"

Drupadi mengangguk, "aku masih ragu sama garis satunya."

"Ya Allah, selamat!" Ayana langsung memeluk Drupadi, dielusnya surai istrinya Ardan. "Itu udah positif, kalau gak hamil ya gak dua garis gini."

"Beneran, Mbak?" Drupadi masih tidak percaya.

"Iya." Ayana tersenyum tulus. "Suamimu udah tau?"

Drupadi menggeleng, "aku mastiin tanya Mbak dulu."

"Barakallah, sayang. Mbak seneng banget Haikal mau punya adik."

Drupadi mengamati lagi test pack di dalam genggamannya. "Gimana caranya kasih tau Mas Ardan?"

Ayana tampak berpikir, "habis shalat subuh, kasih liat ini."

Drupadi menurut. "Mbak Ana jangan bilang siapa-siapa dulu ya, kalau Hari Minggu gini ada dokter kandungan buka gak?"

"Eum kalau itu minta info rumah sakit aja sih. Atau gak nunggu besok Senin, pasti bakal ada yang praktek spesialis, banyak."

"Apa besok aja ya, Mbak?"

Ayana mengangguk, "Insha Allah postif, Dek. Besok dimantepin datang ke dokter kandungan."

Bahagianya Drupadi tidak bisa digantikan apapun. Semenjak menikah, ia tahu jika Ardan selalu mendambakan buah hati hadir diantara mereka. Dan kini, Drupadi ingin menyampaikan pada laki-laki itu, keinginan mereka akan segera terwujud.

Mijil [Macapat Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang