Card and Board

92 8 0
                                    

Dunia seperti catur, sang Maha Kuasa sebagai pemain, maka kamu harus menjadi penahkluk seperti Ratu, bukan Raja yang menjaga takhtanya.

"AAARGH!"

Aku mendengar jeritan kakakku.

"Kenapa aku tidak pernah menang?!" Ia terus berkeluh kesah, uang sakunya selama sehari diberikannya padaku.

Kami sering bertaruh dalam bermain, dari permainan kartu remi hingga permainan papan seperti catur. Who's the winner? I am, always. Tapi kakak tidak pernah jera untuk mengalahkanku.

"Kakak mau tahu rahasianya?" bisikku.

Kakak terlihat tertarik, ia mendekat padaku.

"Apa? Katakan padaku!" serbunya.

Aku menginstruksi agar ia mendekatkan telinganya. Ia pun menurut karena rasa penasaran yang besar.

Tiba-tiba ia menjerit keras, darah terciprat hingga mengotori bajuku. Aku baru saja menggigit telinganya hingga putus.

"APA YANG KAU LAKUKAN, ADIK SIALAN?!!" umpatnya kasar sambil menutupi sisa telinganya yang mengalami pendarahan, sementara aku sibuk mengunyah daun telinganya yang seperti permen karet.

"Itu rahasianya, kak. Aku suka makan-makanan yang sehat dan bernutrisi!"

Tanganku bergerak mengambil papan catur lalu memukulnya tepat di leher.

Kakakku menjadi sulit bernafas, ia terduduk manis di lantai sambil mengap-mengap seperti ikan. Aku berjalan mendekatinya dengan memegang buah-buah catur kemudian memasukannya dengan paksa. Ia berontak meskipun semuanya telah masuk tapi ia mengeluarkannya.

Aku berpikir sejenak kemudian lampu menyala cemerlang di otakku.

Kuambil lakban di lemari, kakakku yang melihatnya mencoba lari namun dengan sigap aku melempar keramik kesukaan mama, huft sepertinya aku akan dicoret dari kartu keluarga setelah ini. Maaf mama.

Dan headshot!

Tepat pada kepalanya, keramik itu ikut pecah berkeping-keping.

Ia tersungkur, kepalanya robek hingga menunjukkan tengkoraknya.

Aku menghampirinya, "jangan tinggalkan aku sendiri, kak. Kakak tahu kan aku benci kesepian?"

Kakak dengan setengah kesadarannya masih mampu memakiku,

"Nerak... ka... menunggumu, brengsek!"

"Ya ya aku tahu, kak. Karena itu aku mengirimmu duluan supaya aku tidak kesepian disana, nanti kita berdua bisa main lagi, bukan?" Aku tersenyum lebar.

Cukup basa-basinya, aku melilitkan seluruh kepalanya dengan lakban.

Merasa ada tanggung, kulakban saja seluruh tubuhnya, dan selesai!

Jadilah mummy homemade berbahan dasar kakak sendiri!

The Psycho MindsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang