Pagi sekali Mrs. Bennet sudah siap dengan segala hidangan sarapan. Dibantu oleh Ten, masakannya menjadi jauh lebih cepat disajikan. Di meja sudah ada tiga teko teh hangat, satu keranjang roti panggang, berbagai macam selai, telur setengah matang, potongan ham dan sosis goreng.
Seperti biasa, Jungwoo lebih memilih bermain dengan piano tuanya daripada ikut meributkan dimana tempat duduknya nanti.
Hiruk pikuk di ruang makan keluarga Bennet mendadak terhenti karena kedatangan seorang tamu.
Mrs. Bennet menyunggingkan senyumnya, sedangkan Mr. Bennet sibuk dengan koran langganan hariannya.
"Selamat datang. Ayo ikut sarapan." Mrs. Bennet menawari tamu itu dengan sopan.
Lee Taeyong segera duduk dengan canggung di kursi kosong yang berada di samping milik Doyoung.
"Setelah ini aku ingin berbicara dengan Doyoung.. secara privat." Ucap Taeyong sambil menggigit roti panggang pertamanya.
Doyoung tersedak teh yang sedang ia sesap. Kun yang duduk di sisinya membantu menenangkan batuk, sedangkan Mrs. Bennet hanya memasang ekspresi khawatir.
"Kun, tolong temani aku disini." Bisik Doyoung amat pelan.
Kun terlihat bingung, tetapi ia tidak memberikan jawaban.
Doyoung melirik ke arah Mr. Bennet, juga memintanya untuk tetap tinggal di ruang makan, namun sayang. Sang Papa tetap sibuk membaca korannya.
Setelah sekian menit, piring yang tadinya penuh kini hanya tinggal remahannya saja. Ketiga teko teh juga kembali kosong.
Satu persatu saudara Doyoung meninggalkan ruang makan. Dan sekarang, satu-satunya putra Bennet yang tertinggal duduk mematung di kursinya.
"EKHEM!"
Doyoung tidak bergeming.
Taeyong mengeluarkan setangkai bunga liar yang biasa Doyoung temui di ladang. Entah dalam rangka apa pria itu memberikannya pada Doyoung.
"Doyoung." Panggilnya.
"Seperti yang kau tau, aku adalah pendeta kesayangan dari Lady Catherine. Maksud kedatanganku kemari untuk mencari pendamping hidup."
"Dan kau tau sendiri.. aku sudah berusaha keras untuk lebih dekat denganmu di pesta dansa semalam."
"Doyoungㅡ"
"Mr. Lee."
Taeyong yang sedari tadi menunduk gugup, kali ini memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya.
"Keluarga kami pasti sangat menghargai keputusan Anda untuk menikahi salah satu dari kelima putra Bennet. Tapi kumohon-"
"Aku mencintaimu." Potong Taeyong.
Doyoung hampir saja tersedak salivanya sendiri. Taeyong sudah berganti posisi menjadi berlutut di hadapannya.
"Aku menyukaimu, Doyoung."
"Tapi Mr. Lee, aku bukanㅡ"
"Aku akan menerimamu apa adanya, merawatmu, memberikan semua warisan pada keluargamu, aku akanㅡ"
"Mr. Lee, saya tidak bisa."
"Aku yakin ini adalah bentuk dari caramu menjunjung harga diri, sehingga menㅡ"
"LEE TAEYONG!"
Pria Lee terlonjak.
"Dengarkan baik-baik karena saya tidak akan mengulanginya lagi."
Kali ini Taeyong terdiam.
"Saya sangat berterima kasih atas lamaran Anda. Tapi saya adalah orang terakhir di dunia ini yang bisa Anda bahagiakan maupun sebaliknya!" Tegas Doyoung lalu pergi keluar rumah dengan membanting pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indifference [Taeil x Doyoung] ✔
RomanceFrom the first moment I met you, your arrogance and conceit, your selfish disdain for the feelings of others made me realize that you were the last man in the world I could ever be prevailed upon to marry. (Pride and Prejudice, Jane Austin)