Lady Catherine adalah wanita dengan wawasan yang luas. Ia menjunjung tinggi pendidikan dan adat istiadat. Sifatnya mungkin murah hati, karena sudah terbukti memberikan rumah secara suka rela kepada Taeyong dan Ten. Namun yang Doyoung tangkap malah sebaliknya. Lady Catherine adalah wanita yang haus pujian dan congkak.
Saat ini Doyoung sedang berada di meja makan dengan sajian mewah di atasnya. Ada kalkun panggang, sup telur jagung, berbagai macam olahan daging babi, puding, anggur merah, dan masih banyak lagi.
"Kau bisa bernyanyi dan bermain piano, Doyoung Bennet?" Tanya sang Lady di tengah acara makan besar.
"Sedikit, Ma'am."
"Kalau begitu bermainlah piano untukku. Piano kami benar-benar bagus."
Doyoung sedikit melirik ke arah Ten, lalu kembali menyesap kuah supnya.
"Lalu adik-adikmu? Apakah mereka bisa bernyanyi dan bermain piano?"
"Salah satu dari mereka, Ma'am."
"Apakah mereka juga bisa menggambar?"
"Tidak."
"Tidak? Satupun?" Terdengar nada keheranan dalam pernyataannya.
"Tidak satupun."
"Lalu, bagaimana dengan merajut?"
"Tidak satupun, Ma'am." Jawab Doyoung sesopan mungkin.
"Ah, aku paham. Karena kalian miskin dan orangtua kalian sibuk, jadi mereka tidak memiliki waktu untuk mendidik anak-anak dan mengikuti kursus."
Doyoung masih menyunggingkan senyum terbaiknya.
"Lalu apakah kalian memiliki pengasuh?"
"Tidak. Kami tidak memilikinya."
"Woah, ada keluarga dengan lima anak dan kalian tidak memiliki pengasuh? Aku tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya."
Doyoung menyesap anggur merah di sebelah kanannya, tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikannya sejak tadi.
"Kami memang harus selalu bekerja keras. Kami dibiasakan untuk selalu membaca dan mempelajari semuanya sendiri. Siapapun yang lebih suka bermalas-malasan tentu tidak menguasai apa-apa." Jelas Doyoung.
"Ah, tidak diragukan lagi. Tapi, itu semua akan terhindarkan jika kalian memiliki pengasuh. Jika aku mengenal Ibumu, aku pasti akan menasihatinya untuk mempekerjakan seorang pengasuh. Tanpa adanya keteraturan, pengulangan, pendidikan hanya akan jalan di tempat."
"Terimakasih atas kebaikan hati Anda, Ma'am."
Lady Catherine tersenyum dengan kesopanan dan kelembutan Doyoung.
"Apakah adik-adikmu senang keluar rumah?"
"Iya, Ma'am, semuanya."
"Astaga! Kalian semua keluar bersama? Aneh sekali. Kau adalah anak kedua. Jadi, orangtuamu membiarkan anak-anak mereka yang lebih muda keluar rumah sebelum kakaknya menikah?"
"Ya, adik bungsu saya masih enam belas tahun. Mereka memang masih terlalu muda untuk memasuki dunia pergaulan. Tapi sungguh, Ma'am, menurut saya akan sangat berat bagi mereka jika dilarang bergaul dan bersenang-senang hanya karena kakak mereka tidak berniat untuk cepat menikah. Anak bungsu dan sulung memiliki hak yang sama dalam menikmati masa muda. Apa jadinya jika yang bungsu dikurung untuk tujuan seperti itu? Menurut saya, hal itu sama sekali tidak mencerminkan kelembutan sikap dan kasih sayang antara saudara." Doyoung menjelaskan dengan panjang lebar.
"Astaga. Kau punya pendapat yang amat tegas untuk ukuran pemuda seusiamu. Katakanlah, berapa umurmu?"
"Dengan tiga adik yang telah beranjak dewasa, mau tidak mau saya harus bisa berpendapat tegas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indifference [Taeil x Doyoung] ✔
RomanceFrom the first moment I met you, your arrogance and conceit, your selfish disdain for the feelings of others made me realize that you were the last man in the world I could ever be prevailed upon to marry. (Pride and Prejudice, Jane Austin)