Okta bekerja keras malam ini. Gadis itu belajar dengan sungguh-sungguh kini. Beberapa buku tebal dengan tulisan sama di depannya matematika dia pinjam dari perpus untuk modal belajar.
Kebiasaan setelah makan malam, seperti marathon drama Korea atau Thailand dia kesampingkan karena yang utama kini adalah belajar.
Bahkan Ardi, yang dua jam lalu nyelonong masuk kedalam kamar buat pinjam sounds kecil milik Okta saja sampai terkejut, bengong ditempat. Merasa aneh, melihat Okta sudah duduk khusyuk dimeja belajar dengan tangan memegang pulpen sibuk mencatat.
Bukan cuma Ardi, orangtuanya saja merasa aneh melihat Putri bungsunya mereka serajin ini. Beda dengan biasanya, yang tidak pernah keliatan belajar dan cenderung pemalas itu.
Okta menghela nafas berat. Entah berapa soal yang coba dia isi tanpa melihat contoh ataupun melihat kisi-kisi dibagian belakang buku. Okta yakin jawabannya benar, meski saat dicocokan dengan kunci jawaban yang ada semuanya salah.
Bodoh.
Benar kata Haga, Okta memang bodoh. Dari kelas 1 SD sampai kelas 2 SMA dia sudah belajar matematika tapi sampai sekarang belum bisa mengajarkan soal matematika sendiri. Benar-benar sendiri. Saat ujian saja, Okta masih sempat-sempatnya menulis contekan yang dia salin di telapak tangannya atau ditulis dibelakang papan ulangan.
Cewek itu mendengus. Melirik jam kecil yang ada disudut meja belajar. Jam sudah menunjukkan pukul 10malam. Itu artinya, sudah hampir 3jam dia duduk dan mengerjakan soal.
Ralat. Mencoba mengerjakan soal.
Cewek yang malam itu menyepol rambutnya keatas, mendengus keras. Menyandarkan punggungnya kesadaran kursi, menatap buku-buku diatas meja. Lalu mendesah, "ini bukan gue banget," katanya jujur.
"Ngapain juga gue ngeiyain tantangan orang lain, yang bukan dari lawan gue. Aneh emang, sok jago banget lo Okta." katanya sudah mengomeli diri sendiri, "harusnya lo tuh tau diri. Otak lo cuma dua persen dari otaknya Haga. Pake terima-terima aja, dasar bego!" selanjutnya Okta misuh-misuh. Meringis pelan dengan kaki menendang-nendang udara dibawah meja.
Sudah bingung ingin melakukan apa. Ingin menyerah, tapi sudah tanggung mengiyakan. Jatuhnya, jadi malu kalo Okta jujur dan mengalah pada cowok sombong itu. Ingin melanjutkan misinya untuk menjadikan si cowok sombong itu babu dalam sebulan, tapi Okta sadar diri. Dia tidak akan menang.
Okta harus apa? Menghilang? Yang benar saja. Itu keliatan banget dia pengecut.
Bagaimanapun, saat Okta menerima tantangan itu dia keliatan keren. Maka dari itu, dia tidak boleh kalah apalagi menyerah.
MALU!
Okta diam beberapa saat. Memandangi meja belajarnya yang kini berbanding tebalik dan terlihat begitu sempit dengan buku dimana-mana.
Sampai, tatapan Okta terpaku. Lurus menatap kotak kecil yang terletak tidak jauh dari lampu belajar. Membuatnya menegakkan tubuh, menjulurkan tangan meraih kotak kecil itu.
Okta membukanya. Mengambil satu-satunya benda yang ada disana. Sebuah kalung dengan bandul huruf berinisial O. Seperti huruf depan namamya, Oktaviani. Kalung itu berwarna putih, mungkin mas putih. Membuatnya berkilau dengan Indah.
Sayang, kalung itu bukan miliknya. Tapi milik orang lain, yang tak sengaja terjatuh dan Okta memungutnya tepat tiga bulan yang lalu. Okta menyimpannya bukan karena dia ingin memiliki, tapi Okta tak bisa menemukan orang yang tak sengaja menjatuhkan benda itu. Sampai Okta lupa. Dan kini teringat lagi, karena tak sengaja matanya melirik kotak itu.
Kotak itu Okta simpan kembali ketempatnya. Lalu tanpa sadar tangannya terangkat, menyentuh benda yang melingkar lehernya. Kalung dengan bandul huruf A, huruf depan nama Arkan.
Iya, tepat 5 bulan lalu Arkan memberikan kalung itu untuknya. Setalah, sehari mereka resmi pacaran.
Katanya, "kalung ini tanda, bahwa lo udah jadi milik gue."
Okta mengulum bibirnya. Merasa dejavu kini pipinya merona kembali mengingat sikap manis Arkan. Tak bisa Okta pungkiri, dia bahagia saat itu.
Ck, kenapa jadi galau gini. Mendadak ingat masa lalu.
Arkan itu playboy. Dan bukan hal yang sembunyikan lagi karena hampir seantero sekolah tahu hal itu. Tapi anehnya, masih banyak siswi yang naksir berat sama cowok ganteng itu.
Tapi pengecualian untuk Okta.
Seperti kisah dinovel, Okta adalah pemeran utama yang membenci karakter badboy yang suka mainin hati perempuan. Tapi entah angin darimana, Arkan justru malah tertarik. Tiba-tiba datang mendekat. Tiba-tiba ngegas Okta. Tiba-tiba narik ulur. Tiba-tiba Nyebelin. Tiba-tiba bikin kangen. Tiba-tiba bilang suka. Tiba-tiba nembak.
Okta ambyar. Pendirian untuk menolak dekat dengan cowok model Arkan, hilang sudah. Karena, jujur Okta terpikat juga terpesona. Tidak bisa dia pungkiri, dia juga menyukai Arkan saat itu.
Banyak hal yang Okta tinggalkan setelah bersama Arkan. Terutama kebiasaannya menonton drama juga kumpu bareng teman-teman kelas. Karena sejak hari itu, Okta sering diajak kumpul bersama teman-teman Arkan yang notabenenya cowok semua. Entah itu nonton bareng sampe ngerusuh di dalam bioskop, atau bahkan nyanyi-nyanyi gajelas di toko distro milik Dimas, teman sekelas Arkan.
Okta jadi tahu tentang Arkan.
Walau temannya sering nyeletuk, "lah, Ar, Ini cewek yang kemarin bukan? Ko beda?"
Tapi Okta tak pernah ambil hati. Dan tetap percaya saat Arkan menyahut, "terus aja setiap gue bawa pacar nongkrong bareng kalian tanya gitu. Ini Okta, pacar gue satu-satunya."
Pokoknya setelah jadian, hari-hari Okta selalu bersama Arkan. Sampai dia lupa, bahwa sebelum itu hatinya sudah dibuat bergetar oleh seseorang.
Okta tersentak begitu saja dengan ekspresi datar. Cewek itu segera menyambar
Ah, iya. Seseorang.
Stay with me.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
Romance"Aku sudah menerima banyak kehilangan dalam hidupku. Sekali ini saja, jangan yang satu ini. Jangan biarkan dia pergi. Jangan dia." - Oktaviani. . .