Minju
Pelajaran olahraga adalah salah satu kelemahan terbesarku. Sprint jarak pendek, lari marathon, dan sedikit gerakan gymnastic, masih bisa kulakukan.
Namun basket... sungguh, aku mengaku kalah.
Kim sempat mengajariku, tetapi aku masih kesulitan. Masalahnya adalah aku tidak cukup cekatan, dan timing-ku sering tidak pas.
Jam pelajaran sudah berakhir. Aku memastikan sudah cukup sore hingga murid-murid sudah pulang, lalu berdiri sendirian di sana, bertekad untuk mencoba sekali lagi. Aku memang tidak pintar olaharaga, tapi aku bukan tipe orang yang mudah menyerah.
Perlahan, kulempar bola di tangan, yang tidak menyentuh ring sama-sekali. Kuambil bola itu kembali, mencoba sekali lagi, tapi masih dengan hasil yang sama. Sampai aku mulai gerah dan frustasi dengan diri sendiri.
Masa sih, hal seperti ini lebih sulit dari mengutak-atik rumus Fisika?
"Coba lebih fokus pada pergelangan tangan."
Aku menoleh, menemukan Hyunjin lagi duduk selonjor di atas kursi panjang pinggir lapangan. Wajahku langsung memerah, tidak sadar kalau sejak tadi aku memiliki penonton.
"Sejak kapan lo ada di sana?"
Hyunjin menyeringai, "Cukup lama untuk tahu lo nggak bakat olahraga sama-sekali."
Aku menjatuhkan bola, bergegas ingin cabut dari sana, tetapi Hyunjin malah bangkit menghampiriku dan memungut bola itu, "Lo nggak akan menyerah semudah itu, kan?"
Jauh dalam diriku, aku tidak ingin menyerah kalah. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, aku malu. Aku tidak suka ditonton, apalagi dalam keadaan bodoh seperti sekarang.
Kenapa ya, Hyunjin sering banget menemukanku dalam kondisi tolol?
"Ayo." Ucap Hyunjin, lalu memeragakan posisi yang tepat, "Berdiri seperti ini, kedua kaki jangan goyah."
Aku menurutinya, berharap aku tidak terlihat konyol.
"Untuk memasukkan bola, lo harus punya kontrol penuh terhadap seluruh gerakan lo. Kecepatan dan akurasi itu perlu, tapi yang paling penting adalah fokus."
Aku mengangguk, memperhatikan Hyunjin yang kini melemparkan bola menuju ring, dan masuk tanpa cela.
"Nah, sekarang giliran lo. Kita coba dari jarak yang dekat dulu, kalau udah bisa baru agak jauh." Sekali lagi, aku mengikuti, berkonsentrasi pada gerakan lengan dan tiang yang ada di hadapanku.
Lumayan, lemparanku kali ini tidak masuk, tetapi sempat menyentuh permukaan ring.
"Bagus. Sekali lagi." Puji Hyunjin.
Kami melakukan gerakan yang sama berulang-ulang, hingga akhirnya satu lemparan berhasil masuk dengan mulus.
Aku terpekik girang dan Hyunjin mengangkat sebelah lengan, ingin memberikan tos tanda keberhasilan. Aku menyambutnya tanpa ragu. Latihan itu berlanjut hingga satu jam kemudian, hingga matahari hampir terbenam.
Hyunjin bilang, basket tidak segampang kelihatannya, tetapi juga bukan olahraga yang susah.
"Lo nggak bakal salah deh, belajar dari king of three-pointers sekolah ini," ujar Hyunjin, membanggakan diri.
Dia menghempaskan diri di atas lapisan semen dan berbaring, menatap langit yang sudah berwarna oranye.
Aku ikut duduk di sebelahnya, "Makasih, ya. Karena lo, mungkin gue nggak jadi jeblok di ujian praktek besok lusa." Aku berterima kasih, tulus.
Hyunjin ternyata guru yang cukup baik. Dia tetap sabar saat lemparanku gagal untuk kesekian kalinya, tidak mengkritik berlebihan saat postur tubuhku salah, dan tidak terburu-buru agar hasilnya sempurna. Aku menghargainya.
"No problem. Kuncinya cuma latihan, dan-"
"Fokus." Aku menyelesaikan kalimat itu, membuat kami berdua tertawa kecil, "Sejak kapan sih, lo suka basket?" Aku jadi ingin tahu.
"Sejak kecil, mungkin waktu SD. Gue sendiri udah lupa." Jawabnya.
Aku mengangguk mengerti, lalu ikut memperhatikan langit sore. Sampai akhirnya Hyunjin bersuara, "Waktu lo pertama kali liat gue, apa sih yang lo pikirin?"
"Lo peduli dengan apa kata orang mengenai lo?" Aku balas bertanya.
Dia mengangkat bahu, "Gue pengen tau, gimana orang melihat gue dan nge-judge gue. Apa mereka langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, atau malah nggak suka sama gue."
Aku tertawa kecil, "Lo terlalu percaya diri."
"Gue serius, Ju. Kim bilang, pertama kali dia liat gue, gue sepenuhnya nyaman dengan diri gue. Gue nyaman di tengah lapangan. Gue seperti terbang."
Pertama kali aku melihat Hyunjin adalah saat dia tergesa-gesa melewati gerbang sekolah, terlambat pada hari pertama orientasi.
Saat itu dia menabrakku, tapi dia hanya menoleh sejenak untuk meminta maaf. Lalu dia tertangkap basah oleh kakak OSIS dan mulai dibentak-bentak, tetapi dia hanya tertawa santai, yang membuat kakak OSIS semakin kesal.
"Lo seperti orang yang sadar bahwa lo disukai. Itu yang membuat lo percaya diri. Tapi, sering kali orang-orang hanya bisa melihat satu sisi aja. Sisanya nggak lo tunjukkin."
Hyunjin mengangguk-angguk, mencerna kalimat itu, "Hmmm. Lo cocok jadi psikologis."
"Inget nggak, waktu gue nabrak lo,hari pertama masuk sekolah? Lo sama-sekali nggak senyum. Waktu itu, gue pikir lo orang yang kaku. Tapi ternyata gue salah."
Dia ingat. Ternyata masih Hyunjin ingat pertemuan pertama kami.
"Eh, liat tuh. Matahari terbenam." Hyunjin menunjuk matahari yang sudah tenggelam.
"Kapan ya, terakhir kali ngeliat matahari terbenam? Gue nggak ingat. Lo ingat?" Hyunjin menoleh ke arahku.
Aku menggeleng, lalu tersenyum diam-diam, ikut merasakan hangat sinar matahari sore hingga langit berubah gelap, dengan Hyunjin di sampingku.
•
•
•
13.05.2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Hati
Fanfiction[Completed] Hwang Hyunjin, Kim Seungmin, Kim Hyunjin, Kim Minju. #1 Minjoo [05.06.2019] Started : 9 Mei 2019 End : 24 Mei 2019 ©2019, fraideyy