Minju
Aku berdiri di depan pagar rumah
Kim dengan tas yang penuh buku pelajaran.Pembantu rumah Kim membukakan pintu, sudah familier dengan wajahku. Aku melangkah masuk dan menyapa Mama Kim yang sedang sibuk melayani pelanggan di salon rumahan milik keluarga mereka.
Salon kecantikan itu selalu penuh dengan klien, yang rata-rata merupakan pelanggan reguler. "Kim ada di kamar tuh, katanya nungguin kamu," kata Mama Kim. Saking seringnya aku main ke sana, aku sudah dianggap anak kedua, seperti bagian keluarga sendiri.
Pintu kamar Kim terbuka lebar, pemiliknya sedang duduk di atas karpet berawarna pink, leyeh-leyeh sambil membaca majalah fashion.
Kamar Kim adalah salah satu tempat kesukaanku. Kamar itu luas, lantai marmernya yang mewah dilapisi karpet selembut beludru. Ranjang besar seperti seorang putri. Sepertinya, tidak akan ada yang bisa bosan di kamar semegah itu.
"Hei, lukisan baru, ya?" Aku mengamati kanvas besar yang disandingkan di sebelah meja belajar Kim. Sebuah lukisan hujan, proyek terbarunya.
"Hmm," Kim menjawab sekenanya, "belum selesai. Ternyata susah banget melukis hujan."
Kim suka, dan jago melukis. Kamarnya penuh dengan hasil sketsa, dan lukisan yang belum selesai. Seluruh lukisan yang sudah selesai disimpan rapi dalam lemari kayu.
Aku mengeluarkan buku Bahasa Inggris dari tas, "Kim, ayo dong. Katanya mau belajar Inggris bareng."
Kim menurunkan majalahnya dan memberikan sebuah tatapan bosan,"Lo tahu nggak, sekarang gue lagi pengin ngapain?"
"Belajar Bahasa Inggris." Aku menyahut dengan kalem.
Kim mengerang malas, "Setiap hari belajar terus. Ini kan, hari Sabtu, masih pagi pula. Gue pengin siap-siap buat pesta Heejin di café entar malam."
Aku melirik jam, "Pestanya pukul tujuh malam. Sekarang baru pukul sembilan pagi."
"Daripada belajar, mendingan kita manicure pedicure di salon. Mumpung masih pagi, belum rame."
Kim bangkit dan beranjak memilih beberapa jenis cat kuku dari meja riasnya. Meja rias Kim juga sangat cantik. Feminin sekali. Penuh dengan botol-botol produk kecantikan ternama yang mereknya tidak kukenal baik.
Kadang, ada saat-saat di mana aku sangat ingin memiliki kehidupan Kim. Ingin punya ibu yang memasak sarapan untuk anaknya, ingin kamar yang luas dan wangi, ingin cantik seperti Kimㅡdengan rambut panjang ikal dan bulu mata lentik.
Namun, aku bukan Kim. Aku hanya seseorang biasa-biasa saja.
"Ah," Tiba-tiba, Kim berhenti memilih-milih cat kuku, lalu berpaling menatapku, "rambut. Gue mau catok rambut ah, buat nanti malam."
Dia memandangku lama, seakan ada ide sedang di kepalanya, "Gue punya ide! Gimana kalo lo ikut nyalon? Kayaknya lo butuh potongan rambut baru, deh. Rambut lo udah panjang banget bahkan udah sepinggang."
"Potong rambut?"
"Gimana kalau sekalian cat rambut?"
Aku semakin panik, tidak suka dengan ide yang dilontarkannya,"Cat rambut?"
Kim tertawa, "Yang temporary aja, jangan yang permanen, kalau lo nggak mau dipanggil guru BK. Kita bikin rombakan penampilan, khusus malam ini."
"Hari ini yang ultah kan Heejin, bukan gue. Kenapa gue yang harus merombak penampilan?" Aku mencoba mengelak. Aku tidak pernah suka perubahan baru.
"Minju," Kim berkacak pinggang menatapku dengan tatapan garang, "kadang, lo harus mencoba sesuatu yang baru. Apa lo nggak bosen dengan segala sesuatu yang begitu-begitu aja?"
Lalu, dengan lebih lembut, Kim melanjutkan, "Kalau nyokap lo masih ada, beliau pasti juga seneng ngeliat anaknya sedikit genit buat jadi cantik."
Aku menghela napas. Ucapan sahabatku ini memang ada benarnya. Model rambutku sudah seperti ini sejak kecil, tanpa pewarna, dengan gaya yang itu-itu saja.
"Ya udah deh, tapi jangan yang ekstrem, ya."
Sedikit perubahan, sedikit saja. tidak akan terlalu kentara, kan?
•••
Aku berdiri di depan rak yang penuh dengan kosmetik dan alat kecantikan. Aku memegang telepon dengan sebelah tangan sambil sibuk meneliti kotak-kotak cat pewarna rambut.
"Burgundy, cooper, atau ash?" gumamku kesal, "Kim, gue butuh bantuan ahli, nih."
Di saat-saat seperti ini, aku sungguh berharap ibu ada di sini. Aku melewati masa-masa pubertas sendirian, mulai dari menstruasi pertama, hingga belajar menyetir dan menggunakan skincare wajah.
"Burgundy itu warna kemerahan," ocehan Kim membuyarkan impianku, "Cooper itu tembaga, ash keabuan. Kayaknya lo lebih cocok warna tembaga deh, Ju. Jangan terlalu terang, ntar kaget."
"Sekali lagi, gue butuh alasan kenapa gue harus ganti warna rambut." Aku mendengus kesal, menyesal membiarkan Kim meracuni pikiranku dengan sukses.
Kalau sama Kim, rasanya aku kebanyakan mengalah, deh.
Dia tertawa di ujung telepon, "Sekali ini aja deh, oke?"
"Antara warna cokelat tua dan merah gelap, nih." Aku menimang-nimang kedua kotak cat rambut itu dengan gemas, "yang mana, Kim?"
"Yang merah bagus." Sebuah suara mengagetkanku, membuatku hampir menjatuhkan kotak di tangan.
Hyunjin berdiri persis di belakangku, tubuhnya yang jangkung basah oleh keringat namun samar-samar aku dapat mencium aroma cologne maskulin yang segar.
Dia nyengir, menunjuk kotak yang bertuliskan burgundy.
"Itu Hyunjin, ya?" Kim berseru di telepon, "Ju, kasih teleponnya ke Hyunjin dong, gue mau ngomong!"
Pasrah, aku menyerahkan HP ku kepada Hyunjin, "Kim, nih."
Hyunjin menjauh untuk bercakap-cakap dengan sang pacar, sedangkan aku masih frustasi dengan pilihan cat warna. Akhirnya, aku mengambil satu dan berjalan ke arah kasir untuk membayar.
"Thanks," Hyunjin menghampiriku, mengembalikan HP sambil menyeringai lebar, "gue abis ngebasket sama anak-anak dan haus mau beli minuman di sini. Nggak nyangka ketemu si cikal bakal rambut merah. Kim ngomong apa sampe lo setuju?"
Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut, lebih khawatir dengan warna yang telah kupilih, "Menurut lo warna merah ini bagus?"
"Buat lo," sahut Hyunjin.
"Merah, bukan cokelat?" Aku tiba-tiba khawatir Hyunjin hanya sedang iseng mempermainkanku.
Namun, Hyunjin mengangguk mantap, "Yep. Merah, bukan cokelat."
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Hati
Fanfiction[Completed] Hwang Hyunjin, Kim Seungmin, Kim Hyunjin, Kim Minju. #1 Minjoo [05.06.2019] Started : 9 Mei 2019 End : 24 Mei 2019 ©2019, fraideyy