12; Jangan Pergi

580 82 16
                                    

Kim

Malam ini terang sekali. Langit memang tanpa bintang, tapi bulan purnama lebih terang dari biasanya. Aku duduk di samping Hyunjin yang sedang menyetir.

Biasanya Hyunjin menggenggam tangan kananku, sebelah tangannya di atas kemudi. Dan, dalam perjalanan, kami akan mengobrol seru tentang apa saja.

Namun, hari ini ada yang lain. Bukan hanya hari ini, tapi beberapa minggu ini. Dia terus menatap lurus ke jalan, kedua tangannya mencengkeram setir dengan erat. Dia terlalu fokus pada jalan, tanpa menoleh sedikit pun atau berusaha membuka pembicaraan.

Aku merasa dia berubah.

Kami mulai jarang jalan bareng,
dan kalau lagi pergi bareng, Hyunjin lebih sering cuek atau bengong.

"Kim."

Aku meraih tangan kirinya dari setir, "Kenapa, Sayang?"

Hyunjin tersenyum sekilas, "Kim, kalau suatu hari kita putus, gimana?"

Buat pasangan yang selama ini hubungannya selancar jalan tol, pertanyaan ini nggak terdengar lazim di telingaku.

"Maksudnya?"

"Yaaah, cuma nanya aja kok. Iseng aja. Kalau suatu hari kita nggak bareng lagi, bakal gimana?"

Iseng? Hatiku perih mendengarnya walau yakin dia hanya sedang bercanda.

"Itu hal yang nggak mungkin terjadi, kan?" Aku melempar balik pertanyaan itu sambil memaksakan tawa, "Kecuali kamu nggak sayang lagi sama aku."

Hyunjin diam saja, "Nggak ada segala sesuatu yang pasti di dunia ini, Kim," ujarnya bijak.

"Kalau aku sih, pasti berusaha supaya kita nggak putus. Kalau kita punya cukup komunikasi, rasa percaya, dan keinginan untuk mempertahankan hubungan ini, semuanya pasti baik-baik aja. Semua tergantung diri kita sendiri." Aku mulai kedengaran seperti psikolog cinta yang berusaha meyakinkan diri sendiri.

Tiba-tiba Hyunjin tertawa, "Kok,dibawa serius sih, Sayang? Aku cuma bercanda." Dicubitnya pipiku lembut, "Jangan banyak mikir... itu hanya sesuatu yang terlintas di pikiran, kok. Everything's gonna be okay."

"Kamu sayang sama aku?" Tanyaku.

"Sayang." Jawabnya.

Aku tersenyum, "Aku juga sayang sama kamu. Di dunia ini hanya Hyunjin yang Kim sayang, dan aku bahagia. Selamanya kita akan seperti ini, kamu dan aku."

"Iya."

Everything's gonna be okay. Kata-kata itu membuatku lebih lega.



•••





Hyunjin

Kata putus itu udah sejak lama ada di ujung lidah, tetapi gue selalu nggak bisa bilang apa-apa.

Wajah Kim langsung pucat begitu gue tanya hal itu, dan dia bilang bahwa dia yakin, kami berdua akan selamanya begini; saling sayang, saling memiliki.

Namun, gue nggak bisa lagi. Gue jenuh, entah sejak kapan, dan baru gue sadari saat Minju mengisi kekosongan hati gue. Mungkin Minju hanyalah orang yang tepat yang datang pada waktu yang salah; saat gue masih bersama Kim.

Bukan salahnya. Bukan salah siapa-siapa. Cuma perasaan ini yang berubah, itu saja.

Gimana aku bisa bilang putus, Kim, kalau kamu hampir menangis waktu aku menanyakannya? Kamu tahu aku paling nggak bisa lihat kamu menangis.

"Ketemu bukunya?" tanya gue sambil selonjoran di atas ranjang Kim. Kamarnya nyaman sekali.

"Nih." Kim menyerahkan buku tersebut, lalu berbaring di samping gue; kami berdua memandangi langit-langit kamar sambil berpegangan tangan.

Kamarnya gelap, hanya disinari lampu meja yang remang. Lagi-lagi, gue memikirkan Minju.

"Hyunjin."

"Hm?"

"Aku sayang kamu."

"Iya."

Gue tau, Kim, gue tau banget.

"Hyunjin." Dia memanggilku lagi.

"Ya?"

"Jangan pergi."

Kali ini gue menoleh, melihat kedua matanya terpejam, tangannya menggenggam erat tangan gue. Jangan pergi, dia meminta.

Jangan pergi.

15.05.2019

Empat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang