3; Cokelat

454 84 9
                                    


Minju

Kata orang, cokelat adalah simbol cinta. Aku sering membaca buku tentang cokelat di balik buku pelajaran, kalau guru di depan kelas sedang membahas materi yang membosankan.

Pernah sekali, teman sebangkuku,Seungmin, memergokiku. Saat itu, di kelas hanya terdengar ocehan Pak guru yang menjelaskan rumus Phytagoras untuk bahan ujian minggu depan. Aku sadar Seungmin memperhatikanku.

Tidak lama kemudian, dia mencorat-coret sesuatu di secarik kertas dan mendorongnya ke arahku.

Lagi baca apa?

Aku menuliskan sederet jawaban, lalu mendorong kembali kertas itu ke mejanya.

Buku tentang cokelat.

Dia membalasnya dengan cepat.

Suka cokelat?

Suka, adalah jawabanku. Kami bertukar coretan obrolan sampai jam pelajaran berakhir, dan aku meminjamkan buku tentang cokelat kepadanya.

Dan satu hal yang kuketahui tentang Seungmin sejak itu. Dia tidak sedingin yang aku kira.





•••



Seungmin

Hari ini hari Senin; hari saat aku akan meminta jawaban Minju akan perasaanku.

Mungkin, aku harus lari keliling lapangan. Mungkin, aku akan tertawa menang. Tidak ada yang tahu.

Begitu pula dengan Hyunjin, yang sudah berstrategi dengan caranya sendiri. Dia sudah membawa sebuket bunga dan meletakannya di loker Kim pagi-pagi buta sebelum upacara dimulai.

Namun, aku punya caraku sendiri pula. Jika Hyunjin berpikir Kim memang menyukai bunga, aku tahu satu hal yang Minju sukai.

Sudah semalaman aku berkutat di dapur, membuat serangkaian cokelat berbagai rasa dan bentuk. Aku akui, aku tidak pandai merangkai pernyataan cinta. Tetapi, untuk menunjukkan perasaanku kepada Minju, kurasa barisan cokelat yang kubuat ini cukup dekat dengan apa yang ingin kusampaikan.

Secara tidak sengaja, aku tahu Minju menyukai cokelat. Hari itu, ia meminjamkan buku mengenai cokelat dan aku menghabiskan semalam membacanya.

Sejak hari itu, aku menarik kesimpulan, orang yang suka membaca tentang cokelat tentunya sangat suka makanan tersebut.

Dengan cara itu pula, aku ingin menyentuh hatinya. Entah apa rasanya cokelat buatanku. Bentuknya saja kurang meyakinkan. Namun, aku memantapkan hati untuk melanjutkan rencana ini.

Aku tidak bisa mundur dan menyerah tanpa memulai, bukan?

Lima menit, sepuluh menit. Dia tidak kunjung menyadari bahwa murid-murid lain sudah keluar untuk makan siang, dan hanya tersisa kami berdua di dalam kelas.

Akhirnya, Minju mendongak, mungkin terganggu dengan bunyi lambungku yang mulai memerih, "Eh, Seungmin,"

Dia kembali bertanya, "Nggak makan?"

Aku menggeleng. Tanpa kata-kata mengeluarkan kotak kecil berisi cokelat-cokelat yang kubuat semalam, dan menyodorkan itu kepadanya.

Minju menatapku bingung, "Cokelat?"

Cokelat buatanku bentuknya tidak beraturan. Ada yang berbentuk hati, tetapi terlalu gepeng, ada yang warnanya tercampur hingga tampak kacau. Ada yang terlampau lunak hingga hancur saat dicampur dengan almond, ada juga yang terkena air hingga rusak di tengah pembuatan.

Minju menelitinya satu-persatu, lalu mencicipi salah satu cokelat.
Tiba-tiba jantungku berdegup lebih kencang dari biasa.

"Lo buat cokelat-cokelat ini sendiri?" Minju bertanya sambil terus mengunyah, "ada perayaan apa?"

"Rasanya gimana?" Aku balik bertanya

Minju tersenyum tipis,"Mau jawaban jujur atau bohong?" candanya.

"Jujur."

Aku melirik jam. Sebentar lagi waktu istirahat akan habis. Waktuku sudah tak banyak. Aku pun berkata tanpa berpikir lagi.

"Minju, gue suka lo."

Hening.

Minju kelihatan canggung. Kaget. Akhirnya dia angkat bicara, "Cokelatnya hambar. Tapi, gue tahu lo buatnya tulus, makanya terasa manis." Lalu, dia tersenyum, dan memasukkan sebutir cokelat lagi ke mulutnya.

"Dan... gue juga suka lo." sambungnya.

Fiuh. Rasanya seperti beban berat terangkat dari pundak. Dan hangat, ketika aku meraih tangannya dan dia membiarkan jemarinya kugenggam.

Akhirnya aku dan Minju resmi pacaran.


•••





Hyunjin sudah menunggu di lapangan sepulang sekolah. Dia tersenyum lebar ketika melihatku.
Sebelum dia sempat menyombongkan diri, kutepuk pundaknya sekali, "Lari sepuluh kali keliling lapangan, yuk."

Hyunjin memandangku heran, tapi kemudian mengangguk mengerti,"Ayo."

Dan, kami pun berlari sepuluh kali keliling lapangan, di tengah terik matahari sore, disoraki puluhan murid-murid, tetapi kami berdua tertawa sambil terus melangkah.


10.05.2019

Empat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang