10; Duka

403 93 11
                                    

Minju

Malam itu, aku mendengar HP ku berdering. Padahal sudah jam 12 malam.

"Halo." Suaraku serak menahan kantuk.

Siapa sih yang menelepon malam-malam begini?

"Minju?" Suara Kim terputus-putus.

"Ada apa, Kim?"

Kim dan Seungmin sedang ikut camping anggota OSIS di puncak selama tiga hari. Hari ini hari pertama. Kim sebagai sekretaris dan Seungmin sebagai ketua.

Tiba-tiba, terdengar isak tangis Kim, lalu terdengar suara Seungmin.

"Seungmin, ada apa? Kalian nggak apa-apa?" Tanyaku.

Untuk sesaat, rasa khawatir menyelinap. Kenapa Kim menangis? Kenapa Seungmin terdengar begitu serius?

"Kita nggak apa-apa," ujar Seungmin menenangkan, "kami baru dapat kabar, mamanya Hyunjin barusan kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit."

Aku terkejut, "Beliau nggak apa-apa?"

Seungmin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Beliau sudah meninggal, Minju." Suara Seungmin masih tenang, "kecelakaan mobil, ditabrak lari ketika menyeberang jalan. Sekarang, aku sama Kim mau nyusul. Tapi kita harus pinjam mobil dulu. Mungkin lewat tengah malam baru bisa sampai di sana."

"Iya. Hati-hati di jalan ya."

"Minju?" Kim kembali mengambil alih telepon, masih terisak, tetapi lebih bisa menguasai diri, "gue minta tolong,pergi ke rumah sakit. Seenggaknya temani Hyunjin di sana sampai gue dan Seungmin datang. Ya?"

Aku menghela napas, "Iya. Gue kesana sekarang."

Kim terdengar lebih lega, "Thanks, Ju. Tolong, ya."

Telepon terputus.

Aku membuka lemari untuk mengambil jaket besar yang cukup tebal, lalu bergegas. Di luar hujan deras. Aku menyetir mobil milik Ayah ke rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, aku segera memarkir mobil. Aku memutuskan untuk mencari Hyunjin di UGD.

Aku melihatnya berdiri di pintu keluar bagian belakang, tidak jauh dari toilet pria. Dia sedang merokok. Rambutnya basah kuyup, begitu pula tubuhnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Hyunjin," Aku memanggil pelan, "Kim sama Seungmin lagi perjalanan ke sini."

Nggak ada jawaban, jadi aku memanggilnya lagi, "Hyunjin,"

Dia menoleh sekilas. Tersenyum, seakan tak terjadi apa-apa, "Hai, Minju. Kok malam-malam ke sini?"

Aku tidak menjawab, kuserahkan jaket yang kubawa untuknya, dan dia tersenyum lagi saat mengenakannya, "Thanks. Lo pulang aja, gue nggak apa-apa."

Nggak apa-apa, katanya? Wajahnya pucat pasi, senyumnya palsu, matanya sedih. Tatapan kosong yang membuatku takut.

Aku duduk di sebelahnya, mau tak mau menghirup asap rokok yang dikepulkan Hyunjin. Perlahan teringat akan luka masa lalu, kenangan yang sama seperti enam tahun lalu. Di saat ibuku meninggal dunia.

Tiba-tiba, Hyunjin bicara, "Kenapa ya, orang-orang yang kita sayang harus pergi begitu cepat?"

Hyunjin melanjutkan, "Tadi, Nyokap lagi pergi sebentar buat beli makanan. Katanya, dia seneng anak-anaknya udah pada gede, udah bisa jaga diri sendiri. Jadi, dia nggak usah khawatir lagi kalau dia nggak ada."

"Waktu hidup manusia itu nggak pasti. Kita nggak punya kemampuan untuk nentuin masa dan arah hidup kita. Kalau yang di atas bilang waktu kita selesai, kita harus lepas tangan. Itulah kejamnya kehidupan. Hidup ini milik kita, juga bukan milik kita sendiri." Kataku sambil memeluk diriku sendiri, udara semakin dingin.

Hyunjin masih mengisap rokoknya dengan tenang. Entah kenapa, disaat-saat seperti ini Hyunjin terlihat menyeramkan. Soalnya Hyunjin yang ku kenal adalah sosok yang ceria.

"Nyokap gue juga meninggal, enam tahun yang lalu." Akhirnya aku menceritakan hal yang sama dengan apa yang terjadi pada Hyunjin saat ini.

Tubuh Hyunjin mulai gemetar. Sama sepertiku waktu itu enam tahun yang lalu.

Aku mengerti. Perlahan, aku merengkuh tubuhnya yang basah ke dalam pelukan, merasakan gemetar itu, merasakan beban yang disimpannya sendirian.

"Saat itu, gue bilang sama diri sendiri, Nyokap pasti pengin gue tetap kuat dan nggak nangis. Tapi, gue belajar, bahwa ada saat-saat dimana lo hanya harus menjadi diri sendiri. Ngelakuin apa yang lo mau, rasain apa yang harus lo rasain."

Dan air mata mulai membasahi pundakku. Hyunjin menangis.

Aku memeluknya sepanjang malam, memeluknya hingga dia berhenti mengigil, dan ia balas merengkuhku hingga hangat dan tenang menyentuh jiwanya. 

13.05.2019

selamat, mulai chapter ini, momen hyuniin-minju akan semakin banyak :)

selamat, mulai chapter ini, momen hyuniin-minju akan semakin banyak :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Empat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang