Motor Abang Tin

3.7K 315 180
                                    

Bangun pagi, Tin keluar balkon kamarnya buat lanjut ngulet, dia bingung mau ngapain hari ini. Tanpa diduga, si adek udah nongkrong pagi-pagi gini di halaman rumahnya. Papa Tin tampak berdiri di depan mobil yang kapnya terbuka di temani Mas Alan.

"Supirnya emang bilang kalo kemarin dia sempat ngadat waktu jalan kesini."

Mas Alan ngangguk-ngangguk dengerin papa Tin. Si adek tampak bosan melihat dua orang dewasa benerin mobil. "Adek," panggil Tin. "Adek udah bangun?"

Adek mendongak kemudian dadah dadah melihat Tin. "Iya, tadi adek pergi jogging sama, mas. Abang baru bangun ya?"

"Iya nih. Adek ayo sini masuk, abang ada mainan."

Mata si adek langsung berbinar, tanpa dibujuk dia langsung masuk ke dalam. Tin melenggang ke kamar mandi untuk mencuci muka sambil menunggu adek. Dari kamarnya sayup-sayup Tin mendengar adek meminta izin untuk naik pada mama.

"Mama, adek boleh naik? Adek mau ketempat abang Tin."

"Adek bisa naiknya sendiri?"

"Bisa."

"Ya udah, hati-hati ya, nak. Panggil aja abang kalau udah sampai diatas ya."

Pas saat Tin keluar kamar mandi, suara adek terdengar memanggilnya. "Abang?"

Tin membuka pintu kamarnya. "Sini dek, masuk."

Ade langsung lompat ke kasur Tin ketika sampai di kamar. Enjot-enjotan sedikit untuk nyoba empuk atau nggak.

"Kasur abang besaaarr," puji si adek. "Kasur abang adek kecil, tapi dikit aja kecilnya."

"Ohh.. adek tidur sama abang ya?"

Adek tampangnya langsung tersinggung. "Enak aja, enggak yaa. Adek bobo sendiri, kalo udah sekolah itu bobo sendiri. Tapi kadang-kadang adek tidur sama abang, atau sama mami, atau sama mba, atau sama mas, ngga pa-pa adekkan masih kecil."

Tin nggak paham sama logika si adek, tapi si adek mana bisa di protes, bisa misuh-misuh dia. Jadi Tin ho'oh aja dengerin si adek.

"Abang punya mainan apa?" tanya adek.

Tin beranjak mengambil kotak di bawah tempat tidurnya. Isinya miniatur mobil-mobilan. Dulu sewaktu kecil Tin suka mengoleksi mainan dan miniatur mobil-mobilan, soalnya dia ingin jadi montir. Tapi setelah dia bisa mengendarai motor, Tin lebih suka motor. Setelah dia nggak peduli lagi sama mobil-mobilannya, mamanya menyuruhnya membuang, atau dikasih ke orang, tapi Tin sayang membuang dan nggak tau mau kasih siapa.

Setelah tak sengaja membawa kotak tersebut pindahan, Tin tambah nggak tau mau ngasih ke siapa, sampai dia ketemu adek.

"Adek suka mobil-mobilan?" tanya Tin.

Mata adek berbinar melihat mobil-mobilan warna warni, senyumnya lebar banget. "Wuaah," pekiknya meniru Upin Ipin. "Banyaakk~"

Tin senyum dan mengacak rambut adek, "Adek mau?"

"Mau!" teriaknya kencang. Tapi sedetik kemudian wajah adek berkerut, senyumnya menekuk. "Tapi kata mami nggak boleh ambil mainan orang, adekkan punya mainan sendiri."

"Ya nggak apa-apa dong," jawab Tin gemas, "kan abang kasih."

"Tetap nggak boleh," jawab adek sedih, "kalo mas kasih boleh, abang kasih boleh, bang Ae kasih boleh, kalo orang lain nggak boleh. Nanti orang sedih mainannya diambil, kalo mas nggak sedih dia mainannya adek ambil. Soalnya mas udah gede, mainannya nggak dipake lagi."

Tin fix beneran bingung sama logika si adek, dia nggak punya adek, makanya dia nggak ngerti kenapa anak kecil pikirannya kadang bisa simpel banget kadang drama banget. Apa bedanya sih Tin sama mas Alan? Mas Alan juga cuma beda 2 tahun dari Tin, sama aja gedenya, sama-sama nggak bakal sedih lagi kalo mainannya di ambil. Tin pun mencoba membujuk si adek lagi untuk menerima pemberiannya, tapi tetap aja adek nggak mau.

AdekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang