(p^ェ^q)
"Bagaimana hasilnya? Negatif?"
"Positif."
"Tapi aku belum siap menjadi orang tua."
"Kita gugurkan saja."
Sudah 9 bulan semenjak aku divonis mengandung. Pacar ku lepas kendali saat itu dan menghasilkan nyawa tak berdosa di perut ku. Aku dan pacar ku berusaha menggugurkan bayi ini dengan aku yang meminum berbagai macam ramuan dan obat. Namun obat itu malah membuat bayi ini kuat.
Bulan demi bulan kita lewati dengan gelisah, aku tidak bisa keluar kost-an karena perut ku yang semakin besar. Pacar ku hanya pasrah dan menantikan bayi ini lahir, saat dia lahir kami akan membuangnya.
Jahat memang, situasinya tidak cocok dengan kita yang masih kuliah. Dan juga kita belum sah di mata tuhan maupun hukum.
Bulan ke-7, aku sering merasakan tendangan dari dalam. Dia begitu aktif di malam hari, sehingga aku kurang tidur saat itu.
Pacar ku kerepotan membawa makanan yang aku minta, dia begitu lelah lahir dan batin. Aku merasa kasihan dengannya, ku pijat pundak yang menjadi tempat hangat jikala aku bersandar.
Bulan ke-8, aku sering merasakan kontraks yang membuatku berhenti menjalankan aktivitas. Aku panik, apakah aku akan melahirkan sekarang? Sedangkan pacar ku pergi kuliah.
Saat itu, pacar ku pulang. Dia terlihat kaget karena posisi ku sudah berjongkok. Aku dipapah menuju kamar, pacar ku hendak keluar tetapi aku cegah dengan menahan kaos yang dikenakannya.
Ini real bawaan bayi, aku ingin pacar ku disini, mengusap perut ku untuk meredakan kontraks yang ku rasakan. Pacar ku tidak membantah, dia ikut berbaring dan mengelus perut polos ku.
Saat itu rasanya hangat, dan nyaman. Aku ingin seperti ini sampai kita menikah. Dia juga giat menabung untuk modal kita menikah. Tetapi karena ulahnya, aku dan dia kebobolan.
Bulan selanjutnya, bentuk perut ku semakin ke bawah, nafas ku saat itu teratur, dan nyeri punggung setiap saat. Aku dan pacar ku semakin waspada jika tiba-tiba air ketuban ku pecah. Pacar ku lebih banyak di kost-an, karena dia menyelesaikan kuliahnya, sekalian menjaga ku.
Malamnya, pacar ku pergi ke kampus untuk menemui dosen pembimbing skripsi. Karena aku dan pacar ku adalah mahasiswa semester akhir, aku mungkin akan mengulang semester berikutnya karena banyaknya absen yang ku perbuat.
Saat itu aku ingin PUP, lalu aku ke kamar mandi. Saat melepas pakaian bawah yang ku gunakan, air ketuban ku pecah. Aku bingung saat itu, keringat dingin membasahi peluh ku.
Aku berjongkok, merangsang bayi agar dia kebawah. Aku mengejan, berharap semuanya akan berlalu. Aku butuh pacar ku kali ini, sungguh. Di saat aku merasakan bayinya semakin kebawah, pacar ku masuk kost-an dan mencari ku.
Dengan suara lemah, aku menyuruh pacar ku ke kamar mandi. Dia terlihat tegang karena melihat raut muka ku, aku yang kesakitan dan dia yang bingung harus ngapain.
Dia lalu memegang tangan ku, menyalurkan kekuatan untuk memgeluarkan bayi ini. Aku mengatur nafas dan mengejan sekuat tenaga.
"ENGGGH!!"
Tubuh ku bergetar, aku merasakan milik ku panas. Ku lihat ke bawah, ada kepala bayi yang menggantung. Pacar ku menenangkan ku, dia mengusap-usap punggung ku. Sebentar lagi bayinya pasti keluar.
Beberapa menit untuk mengumpulkan tenaga, aku siap mengejan mengeluarkan tubuh bayi yang masih di dalam. Seperti ingin PUP, aku mengejan sambil menangkap kepala bayi.
"ENGGGGGH!!"
HUP!
Aku berhasil menangkapnya, aku duduk di keramik kamar mandi dan memeluknya di dada. Tali pusarnya masih terhubung oleh plasenta, aku berusaha mengeluarkannya dan berhasil.
Pacar ku membawakan handuk untuk membersihkan kulit bayi yang berlumuran darah. Bayi ini menangis, mencari susu untuk di minum. Aku secara refleks mengeluarkan payu daraku dan langsung disedot olehnya.
Ku lihat bayi ini yang menurut ku pucat, tak ku sangka aku telah menjadi ibu. Alisnya menurun dari ku, bibirnya seperti ayah nya, dan matanya...seketika bayi ini mengerjapkan mata.
Deg!
Aku teringat oleh ibu, mata bayi ini seperti neneknya. Aku merasa bersalah ingin membuang bayi mungil ini. Jika aku buang, otomatis aku mengirimkan cucu ke ibu disana.
Mata ku seketika panas, dada ku sesak, air mata ku tak dapat ku bendung. Aku menangis tertahan, berusaha tidak mengusik ketenangan bayi yang aku susui. Air mata ku lolos membanjiri pipi, namun tak sampai ke keramik karena pacar ku menghapusnya.
Aku menatap pacar ku dalam, dia juga menatap ku penuh tanda tanya.
"Aku ingin merawat bayi ini," putus ku.
"Apa? Bagaimana dengan masa depan mu? Dan bagaimana dengan aku?"
"Belajar bisa dimana-mana sayang, aku bisa belajar sambil mengurus anak kita. Dan ini anak mu, aku tidak akan meninggalkanmu karena aku mempunyai anak dengan mu. Jadi aku ingin merawatnya, boleh kan sayang. Jangan menambah dosa kita karena sudah kebobolan dan membunuh anak sendiri."
Pacar ku hanya diam, dia melihat bayi di gendongan ku dan menatap ku lama.
"Bukan kah kamu akan menikahi ku?"
Pacar ku mengangguk mantap, dia meminta maaf ke anaknya dan mencium kening ku lama.
Namun aku semakin lemas, pacar ku cemas, dan bayi ku menangis. Benar-benar situasi yang mencengkram. Akhirnya aku dan bayi ku dilarikan ke rumah sakit oleh ayah dari bayi ku.
End.
Sampai jumpa di cerita selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birth[Oneshoot]
Conto"Haaah... Haaah..." "Siapa saja tolong bayi ku..." _________________________________________ Typo seperti bunga sakura, bertebaran. Jangan lupa mampir di profil aku. Hanya fiksi. # 3 - Cerpen, 30 Mei 2020 # 1 - Oneshoot, 6 Maret 2021