Jilid 3

2.8K 49 1
                                    

Ceng Su, ketua Tiam-jong-pai.

Tiam-jong-pai adalah sebuah perguruan besar dan ketua Tiam-jong-pai dari dulu sampai sekarang selalu bernasib baik, setiap ketuanya selalu meninggal karena tua, maka sebelum meninggal mereka selalu mempunyai waktu yang cukup untuk mengajarkan ilmu silatnya kepada ketua penerusnya.

Cara mewariskan yang dilakukan adalah cara paling rahasia juga paling berbahaya. Di dunia ini memang tidak ada hal yang sempurna.

Demi menjaga rahasia ini, ketua Tiam-jong-pai berlatih bukan di di dalam kuil, melainkan di balik gunung, di sebuah rumah batu.

Ingin memasuki rumah batu itu harus melewati sebuah lorong, kedua sisi lorong itu sangat tajam, maka disebut 'It-sian-thian' (Jalan kecil menuju langit).

Di mulut lorong ada sebuah rumah batu kecil, di dalam rumah batu itu ada 4 orang murid Tiam-jong-pat tinggal di sana, semua diatur oleh ketuanya. Biasanya mereka adalah murid langsung dari ketua Tiam-jong-pai, selain bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari ketua, mereka juga menjaga keselamatan ketuanya, melarang siapa pun mengganggu gurunya yang sedang berlatih di rumah batu itu.

Pekerjaan ini bisa dianggap sebagai pekerjaan paling ringan, bisa dikatakan yang dimaksud dengan ringan itu adalah membosankan.

Buktinya sampai sekarang tempat itu selalu tenang, tidak pernah ada berani menerobos masuk.

Jadi kalau ada berani menerobos, 4 murid Tiam-jong-pai yang berjaga pasti tidak akan keburu menahan.

Dan pemuda itu masuk tidak dengan cara berteriak-teriak terlebih dulu.

Pemuda itu muncul di bawah terpaaan sinar matahari terbenam, dia seperti hantu gentayangan. Saat masih di luar, bayangannya yang panjang sudah masuk ke dalam rumah batu itu.

Empat murid Tiam-jong-pai yang baru selesai membuat makan malam, tidak ada yang melihat, tiba-tiba saja mereka baru sadar kalau ada orang yang sudah masuk.

Orang pertama yang melihat pemuda itu hanya berkata: "Coba lihat siapa yang datang?" karena tempat itu sudah lama berada dalam keadaan tenang, mereka tidak terpikir kalau bahaya sudah datang. Mereka hanya mengira yang datang adalah murid Tiam-jong-pai yang mengantarkan kebutuhan sehari-hari.

Waktunya memang sangat tidak tepat tapi mereka tidak terpikir akan hal lain, sewaktu mereka sadar semua sudah terlambat.

Pemuda itu seperti hantu gentayangan, tahu-tahu sudah masuk ke dalam. Kulitnya berwarna abu keputihan tapi sangat mulus, sewaktu tangannya terjulur keluar tampak telapaknya licin bercahaya.

Murid paling depan yang ada di rumah itu hanya merasa ada bau tidak sedap menyergap hidungnya. Belum sadar bau apa yang tercium, nafasnya sudah putus. Telapak tangan pemuda itu sudah membekas di wajah murid itu lalu berpindah ke tenggorokan murid yang lain.

Saat pemuda itu meninggalkan murid pertama yang telah dibunuhnya, dari mulut dan hidung murid pertama itu terlihat ada benang berwarna abu-abu keputihan seperti benang laba-laba.

Wajah murid itu pun berubah menjadi abu keputihan, dia menabrak murid yang lain setelah itu baru roboh.

Gerakan pemuda itu sangat cepat, begitu telapak tangannya bergerak lagi, tahu-tahu sudah berada di tenggorokan murid yang lain, tanpa sempat berteriak murid itu pun langsung roboh.

Dua orang murid Tiam-jong-pai lainnya segera mengambil pedang mereka yang tergantung di dinding.

Belum lagi murid yang di sebelah kiri maju, dia sudah merasakan ada angin keras menyerangnya. Teriakan belum selesai tubuhnya sudah melayang terbang, tapi reaksinya lumayan lincah. Di tengah-tengah udara masih dia bisa bergerak dan berusaha melancarkan serangan.

Tapi ketika dia bersiap akan melancarkan serangan, yang dilihatnya hanya sinar berkelebat, kemudian dia merasa nafasnya menjadi sesak, dan itulah saat terakhir yang dirasakannya.

Murid yang di sebelah kanan sudah memegang pedang, saat dia mengawasi pemuda itu, tampak dia sedang menarik telapaknya dan memutar tubuhnya. Saat itu adik seperguruannya melihat sinar yang berkelebat.

"Dengan senjata rahasia melukai orang bukan tindakan ksatria dan laki-laki jantan!" teriaknya.

Telapak tangan pemuda itu dibalikkan tampak tangannya tidak memegang apa-apa, dari mana bisa ada senjata rahasia?

Murid Tiam-jong-pai yang terakhir itu melintangkan pedangnya di depan dada, dia telah melihat jelas tapi tidak punya reflek seperti itu. Dari sini dapat diketahui kalau ilmu silatnya cukup lumayan hanya pengalamannya sangat kurang.

Sebenarnya pemuda itu bisa mengambil kesempatan ini melumpuhkannya tapi dia malah tidak melakukannya. Dia menunggu murid itu tenang baru maju.

Dengan pedang di tangan, murid Tiam-jong-pai segera menyerang lawannya, ilmu pedang Tiam-jong-pai selalu mementingkan posisi menyerang, dia tahu dalam sekejap serangannya bisa mencapai 271 kali.

Pemuda itu hanya bergeser 9 langkah dan tidak pernah membalas. Sedangkan pedang murid Tiam-jong-pai itu hanya bisa 9 kali mengancam jiwanya, serangan yang lainnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuhnya.

Perhitungan yang sangat tepat. Ketenangan pemuda itu benar-benar membuat siapa pun merasa terkejut.

Beberapa kali murid Tiam-jong-pai itu merasakan kalau serangannya mengenai pemuda itu, tapi terakhir dia baru sadar, pemuda itu sama sekali tidak terkena sabetan pedangnya, maka hatinya mulai terasa dingin.

Karena itu gerakan pedangnya dari cepat berubah menjadi lamban dan terakhir jurus pedang nya tampak menjadi kacau. Saat itu lah pemuda itu mulai melancarkan serangan.

Dia membentak ingin memutar pedangnya tapi telapak tangan kiri pemuda itu sudah menekan ke arah kepalanya, membuat semua jurus pedangnya jadi tertutup. Dia ingin menarik pedangnya tapi pedangnya seperti dililit sesuatu dan tidak bisa ditarik lepas. Kemudian dia melihat pemuda itu tertawa licik, tangan kanan pemuda itu diangkat, telapaknya mengeluarkan sinar menyilaukan.

Saat itu pemuda itu seperti menyodorkan sesuatu, dia ingin berteriak, tapi telapak tangan pemuda itu sudah berada di depan matanya, dia berteriak keras dan memutuskan untuk melepaskan pedang lalu kabur dari sana, tapi bersamaan waktu dia melihat tangan kanan yang memegang pedang, kelima jarinya sudah tertempel oleh sesuatu, bukan hanya tangannya tidak bisa terlepas dari pegangan pedang, untuk bergerak pun dia sudah tidak bisa.

Telapak tangan pemuda itu sudah menekan mulut dan hidungnya lalu bertanya:

"Apakah sekarang kau sudah tahu bahwa itu bukan senjata rahasia?"

Murid Tiam-jong-pai tidak bisa menjawab. Sewaktu tangan kanan pemuda itu dilepaskan, dia langsung roboh, dari hidung dan mulutnya terlihat ada benang sutra dari sarang laba-laba, di 5 jari tangan kanannya pun ada benda seperti itu, punggung pedang yang tadi ditekannya pun terlihat benang itu.

Pedang berubah jadi tidak bersinar, begitu pula dengan bola matanya, tidak ada tanda-tanda terjadi perubahan perasaan.

Bola mata orang mati memang seperti itu.

Pemuda itu hanya mengatakan kalimat itu kemudian telapak tangannya dikendorkan, kakinya segera melangkah, dia melewati rumah batu menuju lorong sempit.

Semakin ke dalam, lorong semakin gelap dan menyeramkan, cahaya It-sian-thian terlihat menyilaukan.

Pemuda itu berjalan dengan tubuh tegak, dia seperti suka dengan keadaan It-sian-thian.

Sampai di ujung lorong, tampak sorot matanya baru fokus memandang wajah Ceng Su.

Ceng Su berbaju tosu panjang berwarna hijau dan berdiri di depan pintu rumah batu, terlihat wajahnya seperti tertawa, dia melihat pemuda itu berjalan menuju ke arahnya.

Kembalinya Ilmu Ulat Sutra (Huang Ying)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang