Wow. Ternyata janji tujuh hari itu tidak bohong. Aku masih bangun sebagai manusia (setengah setan) lagi pagi ini. Adik perempuanku yang paling kecil, anak bungsu dari tujuh bersaudara, tertidur di sebelahku. Aika memang suka menyelinap diam-diam ke kamarku jika terbangun di tengah malam. Kalau aku sedang di rumah sakit pun, kadang Aika tidak mau pulang, memilih ikut tidur di kasur rumah sakit walaupun sebenarnya itu tidak boleh. Padahal dia punya lima kakak yang lain, tapi kenapa harus aku yang Aika pilih sebagai kakak kesayangan? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Aika saat aku tidak pernah pulang lagi.
Setelah mengelus rambut Aika, aku segera bangun dengan berhati-hati agar tidak membuatnya ikut terbangun juga. Seperti biasa, aku mendapati mama dan kakak sulungku, kak Natsumi, sedang memasak sarapan di dapur. Memasak sarapan untuk tujuh anak ditambah kakek dan nenek tidak bisa dikatakan urusan yang mudah. Aku jadi merasa bersalah pada mamaku. Selama ini, aku pasti jadi anak ketiga yang menambah beban meski mama tidak pernah menunjukkannya.
Tanpa sadar, aku jadi hanya berdiri tanpa mengatakan apa-apa di ambang pintu dapur. Mama dan kak Natsumi juga tidak menyadari kehadiranku. Mereka asyik berbincang, membicarakan aku dan saudara-saudaraku dalam topik yang ringan-ringan saja. Topik-topik yang menyenangkan seperti kebodohan salah satu adikku yang menangis saat pulpen kesayangannya hilang, padahal terselip di daun telinga. Atau membicarakan prestasi Kak Nao di universitas Tokyo. Membicarakan lawakan papa yang garing. Pokoknya hanya topik-topik sederhana yang tidak membawa aura suram atau kesedihan.
Tiba-tiba saja, sebuah pemikiran serakah menyambangi benakku. Apa tidak bisa seperti ini saja selamanya? Kenapa cuma tujuh hari aku diberi kesempatan menjadi anak yang sehat-sehat saja? Ketahuilah, aku pernah menguping mama dan Kak Natsumi membicarakan sisa umurku di pagi hari seperti ini. Bukan topik yang menyenangkan untuk membuka hari. Tapi, kalau aku sehat-sehat saja begini ... pasti semuanya bahagia ....
"Heh, sejak kapan di situ? Siap-siap sekolah, sana!" Tiba-tiba kak Natsumi berbalik dan berkacak pinggang melihatku. Aku hanya memberinya cengiran singkat sebelum kemudian berlari menuju kamar mandi mendahului Satoru, adik laki-laki yang hanya selisih tiga tahun di bawahku.
"Kak Yamato! Maa, padahal aku yang mau ke kamar mandi duluan!" Aduan Satoru hanya terdengar samar karena aku buru-buru menutup pintu kamar mandi. Terdengar juga mama yang hanya berkata,"Sudahlah, baru jam segini juga, masih bisa gantian!"
Aku tersenyum diam-diam. Keributan kecil seperti ini selalu terjadi nyaris setiap pagi, tapi aku tidak pernah menghargai hal sepele seperti itu sampai aku tahu aku akan kehilangannya. Mungkin bagi Satoru pun begitu, seandainya dia tahu dia hanya perlu berebut kamar mandi denganku sampai lima hari ke depan.
Setelah bersiap-siap, aku pun pergi ke sekolah dengan mengayuh sepeda kencang-kencang seperti kemarin. Yah, tidak sebrutal kemarin juga, sih. Tidak lucu kalau aku mati (lagi) karena kecelakaan atau apa. Sang Malaikat pasti tidak akan mau memberiku kesempatan lagi. Selain itu, adegan kematianku yang asli sudah bagus dan lebih berkesan daripada harus mati di jalan, jadi aku tidak mau menyia-nyiakannya.
"Males banget hari ini pelajaran bahasa Jepang," gerutu Jun begitu aku duduk di bangkuku. Ryouchin menyahut sinis,"Bahasa sendiri, juga."
"Maka dari itu. Kenapa kita harus belajar bahasa sendiri?"
"Kalau pelajaran bahasa Inggris, kamu bilangnya 'kenapa kita harus belajar bahasa orang lain?' Maumu apa, sih?" Aku ikut menimpali. Jun menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu memejamkan mata dan pura-pura tidak mendengarkan. Jadi ingin kutabok.
"Bolos aja, yuk." Entah dari mana, ide itu muncul di kepalaku. Mungkin karena sebelumnya aku adalah murid teladan (sebenarnya itu hanya pengaruh dari Ryouchin) yang tidak pernah membolos, aku jadi ingin sekali-kali melanggar peraturan. YOLO, You Only Live Once. Eh, aku hidup dua kali, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring to Your Smile
FanfictionNamaku Yumiki Yamato, dan seharusnya aku tidak ada. Yamato pergi meninggalkan dunia ini pada suatu malam. Napas terakhirnya terhembus di tengah-tengah keluarga yang menyayanginya, teman-teman yang telah merelakan, dan dirinya sendiri yang ingin terl...