[epilog] new days

133 29 18
                                    

"Sumpah, aku lega banget hukuman kita cuma ngerjain essay. Untung kita berhasil yakinin kepala sekolah kalau kita udah damai dan sadar kalau tawuran itu salah," Jun mengomel setelah meregangkan tubuh usai detensi satu jam pelajaran penuh. Ryouta mengangguk setuju. "Kalau sampai jabatanku yang jadi ancaman, aku bakal ngajak Naoya berantem lagi, sih."

"Tadi kamu udah kayak orang mati pas Pak Kepsek nyebut-nyebut jabatanmu." Jun menyandarkan tubuhnya di kursi sambil melipat tangan di depan dada. Kini pandangan Jun lurus tertuju pada vas bunga di meja yang ada di depan tempat duduknya. Ryouta yang berdiri di samping mejanya pun jadi mengikuti arah pandang Jun. "Habisnya, kalau sampai jabatanku yang dicoret, kan ...."

"Heh, udah. Aku nggak mau denger kamu nyalahin diri kamu sendiri lagi, oke?" potong Jun. "Aku juga nggak mau ngulangin bilang kalau Yamato pergi pas malem setelah pelantikanmu itu bukan gara-gara dia capek bantuin kamu, tapi karena emang ... udah waktunya."

"Itu kamu ulangin lagi." Ryouta tersenyum pahit. "Tapi, iya, aku udah nggak nyalahin aku sendiri lagi, kok. Aku sadar Yamato nggak selemah itu, masa bantuin aku beberapa hari aja sampai sakit berhari-hari terus ... pergi."

Jun menghela napas. "Entah kenapa, rasanya waktu cepet banget ya berlalu. Tau-tau udah seminggu. Perasaan baru kemarin. Nanti kalau aku baca-baca uselessfacts.com dan mau cerita, aku cerita ke—"

"Nggak, aku nggak mau."

"Dih, GR amat. Orang aku mau cerita ke Kousaku." Jun mencibir. "Oh iya, ngomong-ngomong soal Kousaku ... aku masih nggak nyangka soal kejadian kemarin. Tiba-tiba ngajak Naoya berantem cuma karena loker kita disampahin."

"Yah, dia ngajak temenan kita aja aku nggak nyangka, sebenernya. Tau-tau dateng ke ruang OSIS."

"Iya juga. Jujur, sebenernya awalnya susah nerima dia, karena kita biasa bertiga sama Yamato. Terus tiba-tiba dia nggak ada, tiba-tiba Kousaku dateng ...."

"Hmm, sama, aku juga awalnya gitu."

"Tapi kalau kupikir-pikir lagi, mungkin emang Kousaku dikirim biar kita nggak sedih berdua terus kali, ya?"

Ryouta melirik Jun sinis, meski diam-diam hatinya menyetujui. "Apaan sih, bahasamu. Dikirim. Kayak malaikat aja."

"Hehehe."

Tiba-tiba, orang yang mereka bicarakan muncul di ambang pintu kelas dan melambaikan tangan dengan ceria. "Jun! Ryouta! Katanya sensei pada rapat, jadi ke ruang OSIS yuk, yang sejuk."

"Udah kayak yang punya ruangan aja, kamu." Meski menjawab demikian, tapi Ryouta menurut dan melangkah mengikuti Kousaku. Begitu juga dengan Jun.

"Kousaku, kita masih mikirin kejadian kemarin. Makasih banget, lho, udah ngelakuin semua itu buat kita," ucap Jun sambil berjalan. Kousaku terlihat tersipu dipuji demikian. "Ah, tapi aku minta maaf juga udah bikin kalian kena masalah."

"Nggak apa-apa, toh cuma essay," Jun menenangkan. "Tapi, kemarin itu keren banget, lho. Kamu yang selama ini diem kalau di-bully, tiba-tiba bisa ngehajar gitu ...."

Kousaku menghentikan langkahnya. Ia menunduk, terlihat ragu untuk melakukan apa pun selama beberapa detik. "Kalau aku bilang ke kalian, kalian bakal mandang aku aneh, nggak?"

"Apa?"

"Selama aku ngelakuin semua itu selama ini, mulai dari nggak jadi loncat dari atap sekolah, lari pas aku lagi dihajar Naoya sama gengnya, ngajak kalian temenan, berantem sama mereka, sampai pas aku nggak jadi mukul Naoya pakai besi ... itu semua, entah kenapa aku ngerasa ada kekuatan lain yang ngedorong aku. Kekuatan lain yang bukan aku."

"Hah?" Ryouta menatapnya tidak mengerti. "Maksudmu, kayak ada orang, atau sesuatu, yang ngedukung kamu?"

Kousaku mengangguk. "Iya. Aku kayak ... nggak sendirian. Aku pengen bilang makasih sama 'sesuatu' itu, tapi aku nggak tau itu apa. Aneh, ya? Duh, jangan-jangan kalian jadi nggak mau temenan sama aku habis denger ini."

Spring to Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang