day 6

86 23 9
                                    

Tinggal hari ini dan besok.

Hari ini, pokoknya aku harus memberi tahu Kousaku tentang Naoya. Aku tahu, mungkin akan sulit bagi Kousaku untuk menerima alasan itu, karena bagaimanapun Kousaku memang tidak ada hubungannya dengan masalah keluarga Naoya. Tapi, setidaknya, barangkali Kousaku dapat menerima bahwa Naoya bertindak jahat bukan karena kemauannya sendiri.

Hari ini, aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki alih-alih bersepeda. Karena waktuku tinggal dua hari, aku ingin lebih lama menikmati bunga sakura yang berguguran sepanjang jalan menuju sekolah. Beruntung Kousaku tidak protes saat kuajak berjalan kaki. Dengan waktu yang lebih panjang, aku jadi punya kesempatan yang lebih banyak pula untuk bercerita.

Sembari melangkah, aku pun membuka pembicaraan,"Kousaku."

"Hm?" Kousaku menoleh. Ah, bagaimana ya memulainya. "Tentang Naoya ...."

"Kenapa Naoya?"

"Alasan dia jadi orang jahat."

"Hah? Kamu tau?"

Aku mengangguk. "Sudah kuduga, dia memang punya alasan berbuat begitu. Dia nggak bener-bener jahat. Tekanannya di rumah yang bikin dia jadi kayak gitu." Kemudian aku menceritakan semua yang aku lihat malam itu, termasuk kata-kata ayah Naoya yang sangat menyakitkan. Aku sendiri tidak paham bagaimana Naoya hidup dengan ayah sejahat itu selama ini. Entah sejak kapan ibu Naoya meninggal, tapi sehari saja sepertinya aku tidak mampu jika harus menghadapi ayah yang mengatakan hal-hal sekejam itu. Sudah berapa lama Naoya bertahan?

Kousaku termangu sepanjang beberapa langkah, lalu bertanya,"Kamu tau dari mana?"

Aku tertegun. Aku baru sadar aku belum memikirkan alasan dari mana aku mengetahuinya. Tak mungkin aku berkata pada Kousaku kalau ada malaikat baik hati yang menyuruhku memejamkan mata dan membuatku bisa menonton semuanya bagai film.

"Sebenernya aku sama Naoya temen SD. Kebetulan ada temen SD lain yang tau soal situasi keluarga Naoya." Beruntung aku bisa mengarang cerita dengan cepat. Dan beruntung juga Kousaku mudah dibuat percaya. Kousaku hanya mengangguk paham tanpa bertanya-tanya lagi soal asal muasal ceritaku.

"Tapi ... ini kan nggak ada hubungannya sama aku." Protes Kousaku benar-benar sesuai dugaanku. "Kenapa harus aku yang dia jadiin pelampiasan? Cuma gara-gara kacamata yang aku pakai ngingetin dia sama ayahnya? Apa karena aku keliatan lemah jadi bisa dia bully?"

"Kousaku ...," aku merangkul bahunya,"aku tahu ini nggak ada hubungannya sama kamu. Tapi, seenggaknya, kita tau Naoya sebenernya bukan orang jahat. Mungkin dia sebenernya juga nggak mau ngelakuin semua ini. Gimanapun, emang tindakan bullying yang dia lakuin itu salah. Tapi ... karena kita udah tau alasannya, mungkin ada yang bisa kita lakuin, 'kan?"

"Apa?" Kousaku melirikku lesu.

"Jadi temennya." Sebenarnya aku saja ragu dengan usulku sendiri. Apalagi waktuku di dunia ini tinggal hari ini dan besok. Aku tahu tidak semudah itu meluluhkan Naoya dan memasukkannya dalam lingkar pertemanan kami. Apalagi, dengan situasi keluarga yang seperti itu, aku yakin dia tidak mungkin mudah menerima seseorang dalam hidupnya.

Tapi ... aku juga tidak bisa membiarkannya sendirian. "Menurutku dia butuh seseorang. Seseorang yang bener-bener nerima keberadaannya dan jadi alasan bagi dia buat hidup."

".... Tapi apa bisa?"

"Aku juga nggak tau. Tapi kamu nggak mau ngebales kejahatan sama kejahatan juga, 'kan?"

Kousaku terdiam sejenak, barangkali merenungkan perkataanku. Tunggu, dia tidak benar-benar ingin baku hantam dengan Naoya, 'kan?

"Kalau masalah aku di-bully, kalau alasannya kayak gitu mungkin aku masih bisa maafin," ucap Kousaku kemudian. "Tapi ... misal nanti Naoya juga gitu ke kamu atau Jun atau Ryouta, aku nggak tau."

Spring to Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang