"Pokoknya Clara nggak mau dijodohkan, titik!"
"Clara, kamu itu sudah umur dua puluh sembilan dan kamu sibuk kerja melulu. Kalau kamu nggak mau dijodohkan, kapan kamu mau menikahnya, Nak?"
"Emangnya menikah sepenting itu?" Clara menatap Mami tak percaya. Matanya membulat, dan napasnya terengah karena emosi yang bergemuruh di dada.
"Buat Mami? Penting. Siapa yang nanti mau menjaga dan menemani kamu kalau Mami sudah nggak ada?"
Itu lagi, itu lagi, gerutu Clara dalam hati. Ibunya selalu menggunakan alasan yang sama, seolah Beliau sedang menderita sakit parah dan bisa dipanggil Tuhan kapan saja.
Ups, nggak boleh mikir kayak gitu, Clara menegur dirinya sendiri. Amit-amit. Sekesal apapun ia pada Mami sekarang, ia nggak mau terjadi hal yang buruk pada Mami. Apalagi, Mami sudah berjuang keras membesarkannya dan Clarissa seorang diri, sejak Papi meninggal ketika Clara masih duduk di bangku SD.
Clara menghela napas dalam-dalam, berusaha berbicara dengan "bahasa" yang dapat dipahami Mami. Come on, ia entrepreneur sukses yang sering diundang menjadi pembicara motivational talk. Masa meyakinkan ribuan orang ia sanggup, tapi menghadapi ibunya sendiri ia mati kutu?
"Mi," kata Clara sambil merengkuh pundak Mami, "jodoh itu kan di tangan Tuhan, sudah diatur oleh Tuhan. Kalau memang sampai sekarang Clara belum dapat jodoh, ya mungkin memang belum waktunya Tuhan, Mi."
"Iya, Mami tahu. Tapi kan kalau nggak diusahakan, jodoh juga nggak jatuh dari langit, Ra."
Okay, Clara, you can handle this, ia menyemangati dirinya sendiri. "Clara berusaha, kok, Mi. Kan saat Clara kerja, Clara juga memperluas pergaulan. Siapa tahu nanti akan ketemu jodoh dari networking itu."
Mami, yang memang tinggi badannya hanya sebahu Clara, mendongak menatap putri sulungnya itu. Ia bukannya tidak mau memberi waktu pada Clara, namun... "Kamu sudah tujuh tahun memperluas pergaulan, tapi belum ketemu-ketemu jodoh, gitu? Mungkin jodoh kamu bukan didapat dari dunia kerja. Kamu kenalan dulu deh ya sama anaknya Om Romi ini, siapa tahu..."
Duh, kepala Clara makin cenat-cenut!
"Ah, tau ah, Mi, nanti Clara pikirin lagi!" Dan, meski tahu itu agak tidak sopan, Clara mengeloyor begitu saja meninggalkan Mami, yang masih keukeuh dengan niatnya.
"Ra, ingat, kamu itu sebentar lagi tiga puluh, nanti makin susah cari jodohnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere to Go
ChickLitClara Sudirgo benci selalu dianggap belum "sempurna" hanya karena ia belum menikah di usia yang hampir menginjak kepala tiga. Keberhasilannya menjadi seorang entrepreneur sukses seolah tidak ada artinya di mata banyak orang, terutama ibunya. Di mata...