11

92.8K 4.1K 31
                                    

Fera tak henti-henti memuntahkan isi perutnya. Badannya sudah lemas, ia
duduk jongkok di atas rerumputan seraya memegang lututnya. Kepalanya mulai pening.

"Maafin gue Fer, gue kira lo cuma takut biasa. Eh ternyata lo beneran sampe muntah gini," kata Muti dengan penuh penyesalan.

"Gue juga minta maaf ya Fer, gue tau lo gak mungkin marah ya kan sama gue."

"Alah telat lo pada, udah sana beliin gue minuman yang hangat. Terserah apa aja."

Fera berdiri sembari menyeimbangkan tubuhnya supaya tidak terjatuh.

Jihan mengangguk, lalu pergi mencarikan keinginan Fera. Rasa bersalah juga menyelimutinya, mungkin lain kali cari wahana mainan yang lebih memacu adrenalin. Biar Fera pingsan. Ah ya enggak lah, becanda.

"Nih Fer, bersihin dulu bibir lo." Muti memberikan sapu tangan miliknya, yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Kata mama nya, Muti dulu sering ingusan.

Fera menerimanya lalu mengelap bekas muntahan di bibirnya. Rasa pusing masih menjalar di kepalanya, ia tak lagi muntah. Hanya saja masih merasa mual.

Tak butuh waktu lama, Jihan sudah kembali membawa 1 cup teh hangat yang ia beli di luar. "Nih, gak terlalu panas."

"Makasih." Dengan cepat Fera meminumnya, ia hanya menghabiskan setengah hanya untuk sekedar mengurangi rasa mualnya.

"Fer, lo gimana? Udah agak baikan?" tanya Muti.

Fera mengangguk, "masih pusing dikit."

"Yaudah yuk pulang aja!" ajak Jihan.

"Eh, disini ada toilet gak? Gue pengen pipis" tanya Fera tiba-tiba.

"Ada, tapi di sebelah sana. Deket rumah itu," jawab Muti seraya menunjuk area yg ia maksud.

"Oke, gue kesana dulu. Kalian tunggu disini aja ya. Jangan kemana-mana."

Fera berjalan kearah kamar mandi, tempatnya sepi. Untung ada lampu meskipun remang-remang, jadi Fera tidak terlalu takut. Dengan cepat ia masuk ke kamar mandi.

Fera menatap kloset yang berada di kamar mandi itu, sedikit kumuh. Wajar ini toilet umum. Ia segera buang air kecil.

Fera membuka pintu kamar mandi, lalu keluar. Ia menatap kanan kirinya kosong tidak ada orang yang lewat. Hanya saja, terdengar suara jangkrik yang berkumandang.

"Udah jam berapa ya?" Fera menatap jam yang melingkar di tangannya. Menunjukkan pukul 21. 15 WIB. Itu tandanya ia harus pulang cepat.

"Hmpppptt." Seseorang telah membekap mulut Fera. Dengan gesit Fera menginjak kaki seseorang itu. Untung saja tidak ia gigit, jika di gigit akan berbahaya.

"Aduh."

Fera mengetahui siapa pemilik suara itu, dengan tatapan tajam ia menoleh ke belakang sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Mau bikin Fera jantungan?" tanyanya.

Seseorang itu hanya menyengir kuda. "Kamu sih, ini udah malam. Kenapa belum pulang?"

"Tadi sih niatnya mau pulang tapi malah Bapak bekap mulut saya pake tangan, eh bentar-bentar. Tangan Bapak gak terkontaminasi sama bakteri kan?" delik Fera.

"Mana saya tahu, mungkin ada." Yoga menggidikan bahunya.

"Bapak ngapain kesini? Sama siapa?"

Yoga menatap sekitar, lalu menatap Fera kembali. "Sama mantan saya, emang kenapa?"

Fera menggelengkan kepalanya. "Ya gapapa sih, kalau gitu Fera pamit pulang dulu. Jangan lupa besok temui mama saya buat batalin perjodohannya. Saya seneng banget malah hahaha." Fera tertawa dibuat-buat lalu beranjak dari tempatnya.

Dengan sigap Yoga menghampiri Fera, dan membuat Fera menghentikan langkahnya.
"Lah, Bapak kenapa? Saya mau pulang."

Yoga terkekeh, "Ikut saya dulu, saya mau kasih kamu sesuatu."

"Enggak usah Pak, Fera harus pulang. Kasian temen-temen udah nungguin disana."

"Terus saya gimana?"

"Katanya bawa mantan. Jangan dianggurin Pak, diajak jalan-jalan kek. Biar clbk." 

Yoga memegang dagu Fera sambil menahan tawanya. "Kamu cemburu?"

Fera menepis pelan tangan Yoga. "Ish Bapak, buat apa cemburu? Sekarang itu gak ada jamannya cemburuan!"

"Hehe--saya harap sih kamu cemburu. Oh iya, sebaiknya kamu hubungi temanmu. Bilang kalau kamu udah pulang duluan. Kasian mereka udah nungguin."

Fera hendak menyela,

"Setelah ini saya mau ngajak kamu, jadi biarkan mereka pulang duluan. Dan soal mantan pacar, kamu tidak perlu khawatir. Saya tadi hanya bercanda," jelas Yoga.

Fera mengangguk pasrah lalu menyalakan ponselnya dan menghubungi nomor Jihan.
"Halloo, Jii gue udah pulang duluan. Sorry ya. Lo pulang bareng Muti aja."

"............."

"Hem, oke. Kalian hati-hati kalau pulang. Sampai ketemu besok."

Tut ---tutt
Fera mematikan ponselnya lalu menatap Yoga.

"Udah, sekarang Bapak mau ajak saya kemana?" tanya Fera.

"Ayo ikut saya!" Yoga menarik tangan Fera. Namun Fera langsung melepaskan pegangan tangannya.

"Bapak suka permen kapas juga?" tanya Fera antusias karena sekarang ia berada di mana ada penjual permen kapas kesukaannya. Seperti anak kecil memang.

"Enggak terlalu suka sih."

Fera tersenyum, "Pasti mau beliin Fera ya? Fera sih mau-mau aja Pak."

Yoga menyentil dahi Fera pelan. "Saya mau beli buat mama saya, bukan kamu" jelasnya.

"Yahh Pak, tega amat. Katanya mau ngasih sesuatu." Fera mengerucutkan bibirnya.

Yoga tidak menanggapi ocehan Fera, ia baru saja membeli permen kapas dua. Semuanya berwarna pink.

Fera yang tak mau kalah, ia berniat membeli permen kapas juga.

"Pak beli lima, warna warni ya Pak. Kalau bisa warnanya putih atau biru aja. Jangan yang pink," ucap Fera dengan menekankan kata terakhirnya.

"Maaf Pak, ga jadi beli. Istri saya maruk." Yoga menarik pergelangan tangan Fera hingga menjauh dari penjual itu.

"Bapakk, Fera kan pengen permen kapas" rengek Fera sambil memasang muka sebalnya.

"Ayo pulang ini sudah malam. Besok kamu sekolah," titah Yoga sambil memasuki mobilnya.

"Gak punya perasaan emang, malah bilang istri lagi" decak Fera lalu ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Yoga.

Dengan rasa jengkel di hatinya, Fera enggan menatap Yoga. Ia lebih memilih memejamkan matanya sembari melupakan keinginannya untuk membeli permen kapas, kesukaannya.

"Nah diem kan cantik."

Fera mengepalkan tangannya untuk menahan emosi. Tapi lebih ke- menahan mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara.

Rupanya Yoga diam-diam memperhatikan Fera.

"Kamu gak anggun sih Fer. Soalnya anggun kan suka nyanyi, kalau kamu suka bikin aku---"

"Diem gak lo."

Yoga menarik pipi Fera pelan sambil cekikikan yang ia tahan hingga suaranya terdengar meledek karena raut muka Fera seperti ibu ayam yang suka nething.

"Biasanya nih kalau orang suka emosi itu keturunan dari bapaknya."

My Husband Is A Math Teacher Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang