8

108K 4.5K 63
                                    

Fera menggeliat diatas kasurnya, melirik jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Fera heran pada dirinya, tumben sekali bangun sangat tepat waktu di adzan subuh.

Setelah semua tenaganya terkumpul penuh, Fera menyibakkan selimutnya berniat ingin buang air kecil.

Saat akan memasuki kamar mandi, Fera terhenti ketika menginggat Yoga. Terakhir yang Fera tahu, saat ia menemani Yoga di meja makan kemarin. Selanjutnya ia lupa. Mungkin Yoga sudah pulang, fikir Fera.

"Auah bodo amat,"gumamnya lalu memasuki kamar mandi sekaligus membersihkan badannya karena hari ini ia harus sekolah.

Beberapa menit Fera gunakan untuk berwudhu dan melaksanakan sholat subuh.

Setelah itu, ia berpakaian seragam rapi dan tak lupa membawa tas yang selalu ia bawa ke sekolah. Fera berjalan menuju ruangan bawah, entah mengapa suasana pagi ini sangat cerah dan ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Padahal hari ini ada jadwal pelajaran matematika di kelas Fera.

Fera tak mau memikirkan tentang matematika, karena jika ia memikirkan matematika bayangan wajah Yoga selalu berputar di otaknya. Sungguh membosankan.

"Selamat pa--gi" sapa Fera terputus saat melihat sosok yang ia bayangkan baru saja, tengah duduk di kursi meja makan dengan melahap sarapan tanpa menunggunya terlebih dahulu.

"Pagi calon istri" jawabnya sambil memakan roti yang sudah diolesi selai. Mungkin sudah disiapkan bi Inah sejak tadi. Duh, malunya. Seharusnya Fera juga ikut membantu bi Inah.

"Sarapan! Setelah ini saya mau ajak kamu pulang ke rumah saya sebentar" ucap Pak Yoga seakan membuat Fera berhenti untuo mengoceh di pagi ini.

Fera memilih duduk lalu mengambil roti dan diolesi selai kacang kesukaannya. Jarang ia sarapan roti, terkadang ia sarapan nasi goreng, dan juga sarapan di sekolah jika ia mau.

Fera sibuk menghabiskan rotinya tanpa sadar, seseorang tengah mengamatinya sedari tadi.
"Sudah selesai?" tanyanya.

"Eh iya, bentar Pak" sentak Fera tersadar lalu mengambil segelas susu langsung ia teguk hingga habis.

"Ayo Pak!"

Yoga mengangguk lalu berjalan bersama Fera menuju mobilnya. Setelah ini ia akan pulang terlebih dahulu untuk berganti pakaian. Karena hari ini ia harus mengajar di SMA Darmawangsa. Lebih senangnya lagi, hari ini ia mengajar di kelas Fera.

"Saya ke dalam dulu sebentar. Kalau mau ikut, ayo!" ajak Yoga.

"Fera nunggu disini aja."
Fera tidak mau ikut dengan Yoga ke dalam rumahnya, ia pikir, jika ia masuk malah membuatnya mengulur waktu untuk ke sekolah. Padahal itu menguntungkan baginya, tapi ia malu untuk berbincang-bincang dengan kedua orang tua Yoga.

"Yasudah, jangan kemana-mana." ingat Yoga.

Setelah mendapat anggukan dari Fera, Yoga langsung turun dari mobil dan memasuki rumahnya.

Fera hanya mengamati Yoga dari dalam mobil. Fera binggung, kenapa Yoga bisa ada di rumah Fera sepagi tadi, ditambah juga, kenapa Yoga pulang ke rumah buat ganti baju.

"Berarti tadi malam pak Yoga nginep dirumah, kok bisa sih? Haduh Fera, untung aja kamu gak di apa-apain" gerutu Fera pada dirinya sendiri.

Fera terkadang memang mudah tertidur dimana saja, apalagi setelah makan malam. Pasti langsung mengantuk. Jika ada teman mengobrol pasti rasa kantuk Fera hilang. Dan teman mengobrol setiap malam adalah kakaknya, kebetulan Nando ada acara di sekolahnya. Jadi Nando harus menginap di sekolahnya. Itu sudah menjadi hal tersering ketika kakaknya itu menjadi anggota OSIS, apalagi jabatan Nando sekarang adalah ketua OSIS dan sebentar lagi kakaknya itu akan lulus dari sekolah kejuruan.

Tanpa waktu lama, Yoga sudah siap dengan pakaian gurunya. Dan mulai melajukan mobilnya menuju ke SMA Darmawangsa.

"Bapak tadi malam nginep di rumah Fera ya?" tanya Fera untuk memastikan apakah dugaannya benar.

"Iya," jawabnya singkat.

"Trus yang bawa Fera ke kamar itu Bapak juga?"

Fera yakin pasti yang membawanya ke kamar itu Yoga, tidak mungkin pembantunya yang menggendong. Tidak mungkin juga ia berjalan sambil tertidur. Itu mustahil bagi Fera.

"Iya, saya yang gendong kamu ke kamar. Tadi malam kamu ketiduran di meja makan. Mungkin itu efek setelah memijat saya."

Fera kembali mengingatkan Yoga soal tadi malam. Kalau dipikir-pikir, ia sudah di bohongi oleh Yoga. Mana ada setelah dipijat bisa muntah. Ada-ada saja. Dan tadi malam Fera memperhatikan Yoga hingga ketiduran mungkin. Karena Fera tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.

"Kayaknya kamu perlu latihan memijat deh, soalnya pijatan kamu tadi malem kurang enak" cibir Yoga.

"Emang cita-cita saya jadi tukang pijit apa?!. Gak ah, Bapak sendiri aja sana yg latihan, sekalian ganti profesi jadi tukang pijit."

Yoga terkekeh pelan, "itung-itung kalau kamu sudah jadi istri saya bisa mijit setiap hari. Kan enak gitu."

"Nikah aja sama tukang pijit, biar dipijitin tiap hari sampe patah tulang."

"Kalau saya gak mau gimana?" goda Yoga seperti biasa.

"Kalau gak mau yaudah," balas Fera.

Seperti biasa, Fera turun di gerbang sekolah. Ia lebih memilih jalan aman untuk menghindar dari para-para fans nya. Bukan fansnya, lebih tepatnya fans Pak Yoga.

Kadang Fera heran, kenapa ada siswi yang menyukai Pak Yoga. Padahal baik aja enggak, kalau nyebelin iya. Soal tampang sih oke, pinter pula. Kurangnya sih gak ada. Eh ada, semua manusia kan ada kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Pak Yoga mungkin dari wajahnya yg lumayan tampan dan juga pintar dalam berbagai bidang. Masalah kekurangan mungkin soal percintaan mungkin. Soalnya Fera aja selalu mengelus dada, bersabar menghadapi sikap Pak Yoga.

"Fera duluan ya Pak" pamit Fera sambil menyalami tangan Pak Yoga.

"Nanti saya ke kelasmu kalau kamu lupa. Jdi jangan mencoba bolos" ingat Pak Yoga.

Fera mengangguk, "oke boss" setelahnya, Fera langsung keluar dari mobil lalu berjalan menuju kelasnya dengan santai, karena waktu masuk sekolah masih 15 menit lagi. Jadi tak perlu khawatir untuk terlambat.

"Pagi Fera," sapa seseorang yang akhir-akhir ini mendekati Fera. Entahlah, Fera tidak tahu maksud kedekatannya. Mungkin untuk berteman. Kalau bermaksud lebih, Fera tentu tidak mau.

"Pagi Reno," jawab Fera sambil tersenyum singkat. Ia tak mau menaruh hati pada Reno. Dan tidak mau membuat Reno jatuh  padanya, itu pun kalau bisa.

Melihat banyak siswa-siswi mulai berdatangan dan meliriknya. Fera berniat ingin menjauh dari Reno. Ia tak mau digosipkan, apalagi menjadi bahan pembicaraan di sekolah ini. Fera bukan most wanted, meski begitu, Fera memiliki wajah lumayan cantik. Tak kalah dengan most wanted di sekolahnya.

"Gue ke kelas duluan ya," setelah mengucapkan itu Fera langsung melangkahkan kakinya menjauh dari hadapan Reno.

"Gue suka sama lo Fera, asal lo tahu itu."

Melirik siswi yang banyak melihatnya, Reno berbalik badan, berjalan menuju kelasnya sambil memasukan tangan kanannya di saku celana. Bagaimana tidak dilirik, Reno dikaruniai wajah tampan, bahkan pernah ditawari menjadi ketua OSIS, tapi Reno tidak menerima tawarannya. Dia tidak mau berorganisasi di sekolahan. Hanya saja, Reno mengikuti ekstrakulikuler basket. Dirinya bersama teman-temannya selalu mendapatkan juara. Tentu, itu membawa nama baik SMA Darmawangsa.

My Husband Is A Math Teacher Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang