"Oke, gue setuju! Lo gimana, Ad?"
"Gue sih ngikut," jawabnya santai sembari membenarkan topinya. "So, siapa yang bakal bernostalgia duluan?"
Mereka saling pandang secara bergantian. "ZHIRA!"
Elia dan Admia tertawa lalu beradu tos.
"Dasar duo tengil, kompak banget sih. Gue jadi cemburu nih!" sewot Zhira. Namun, Admia dan Elia malah asyik dengan tawa mereka. "Kalau nggak berhenti ketawa, gue nggak jadi nostalgia nih!"
'TADA!'
Mereka langsung menahan tawa masing-masing dan mulai mendengarkan Zhira yang sudah siap untuk bernostalgia.
"Oke, bisa gue mulai nostalgianya?"
"BISA!" jawab Admia dan Elia semangat.
'TEET TEET TEET'
"Eh? Malah bel masuk ... err!" gerutu Elia. Semangatnya jadi hilang seketika. Dia kembali ke tempat duduknya dan mengeluarkan buku pelajaran jam pertama.
Setelah melihat Elia sibuk denga bukunya, Admia menyenggol bahu Zhira.
"Lo serius mau kasih tau masa lalu lo sama si Elia?"
Zhira mengangguk.
"Lah tapi kan ... "
"Ini salah satu trik biar dia bisa buka kepercayaan sama orang lain. Gangguan psikisnya itu udah teralu parah, Ad. Gue kasihan sama dia."
Admia hanya ber'oh'ria mendengar penjelasan dari sahabat karibnya itu. Memang benar adanya, sebuah traumatik yang diidap oleh Elia menurutnya memang sudah terlalu parah. Bagaimana bisa, dia hidup sendiri padahal manusia itu normalnya adalah manusia sosial. Butuh kepercayaan dan mempercayai orang lain agar bisa bertahan hidup.
"Gue penasaran, apa yang membuat dia jadi nggak bisa percaya sama orang lain ya?"
"Entah, nah ... ini adalah momen yang tepat buat tau apa alasannya menyendiri."
####
Pengumuman
Ditujukan untuk para anggota OSIS, diharap segera berkumpul di ruang OSIS sekarang juga untuk membahas lanjutan meeting kemarin
Terima kasih
"Yah! Gue harus meeting dulu. Kalian jangan bernostalgia tanpa gue ya," pinta Elia pada kedua temannya itu.
"Oke, gimana kalau ntar nostalgianya di kafe sebelah aja pulang sekolah? Biar bisa puas dan nggak ada yang ganggu," usul Admia yang disetujui oleh Zhira.
Elia mengangguk antusias. "Sip, tumben lo pinter, Ad! Biasanya lo kan telmi! Bye!" ucapnya sebelum ia berlari meninggalkan mereka berdua. Karena ia tau, kalau dia terlalu lama bersama mereka setelah mengejek Admia seperti tadi, ia pasti takkan bisa ikut meeting karena alasan 'ditelan Admia mentah-mentah'.
Dalam setiap langkahnya menuju ruang OSIS, Elia selalu menguatkan hatinya. Menguatkan hatinya untuk memulai kehidupan yang baru. Ya, kehidupan di mana ada kepercayaan sebagai bumbunya. Dia sadar, bahkan dia sangat sadar kalau manusia itu adalah makhluk sosial yang artinya makhluk yang saling membutuhkan. Membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup dengan saling mempercayai. Kalau dia saja tak bisa mempercayai orang lain, bagaimana dia bisa bertahan hidup? Itulah yang sering ia pikirkan.
Namun, lain dengan hatinya, hatinya sangat bertentangan dengan logikanya. Jika logikanya mengatakan kalau dia harus mencoba kembali menaruh kepercayaan untuk orang lain, hatinya akan berkata lain. Hatinya akan selalu menolak perintah logikanya, hatinya akan tetap memilih untuk menghindari menaruh kepercayaan pada orang lain. Karena bagi hatinya, mempercayai orang lain adalah sebuah senjata yang akan memusnahkannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELIA DAN RAHASIA
RomancePertemuannya dengan si Murid Baru yang selalu ia sebut dengan Muka Rata membuat hidupnya jungkir balik 180°. Rasanya sungguh mengkhawatirkan tapi sialnya ... dia juga merasa nyaman. Elia, dengan seribu satu rahasia yang ia genggam erat-erat akhirny...