"Apa sih, istimewanya topi XOXO itu sampai lo ngelupain janji lo sebagai sahabat?"
Admia terdiam kembali. Dia berpikir, haruskah ia menjawab pertanyaan itu?
"Ad? Kenapa diam?"
"Kalau lo nyuruh gue dateng ke sini cuma buat nanyain hal itu, justru malah bikin gue tambah kesel dan gue semakin nggak mau maafin di Elia!"
Setelah mengatakan hal itu, Admia pergi begitu saja. Ia tak peduli panggilan-panggilan dari Nindo yang terus memohonnya untuk kembali.
Entah mengapa, hatinya terasa begitu sakit melihat Admia marah padanya.
"Rencana gue gagal sih nggak masalah. Tapi ... ngeliat Admia marah sama gue kayak tadi kok rasanya malah lebih sakit ya?" monolognya seorang diri sebelum berniat menyusul Admia.
Belum sempat menghampiri Admia dengan motornya, Admia sudah terlanjur menaiki bus. Ia kembali kehilangan Admia untuk kesekian kalinya.
"Kecoa bener tuh anak! Sekali lepas, terbangnya jauh amat."
####
Satu bulan terlampui ...
Semenjak kejadian saat olahraga itu, ia dan Admia tak lagi sering menyapa. Admia yang biasanya sering menggodanya, tak pernah lagi ia lakukan. Jangankan menggoda, melirik saja tak pernah dilakukan Admia.
"Sial! Udah sebulan gue diacuhin sama si Admia. Sedangkan Zhira? Dia baik-baik aja tuh sama si Zhira. Oke, gue emang salah. Udah bikin topi dia jadi topi yang nggak layak pakai. Tapi ... gue udah minta maaf berulang kali! Nggak ditanggepin juga. Sakit banget woi!" ia menggerutu seorang diri melihat Zhira dan Admia yang sedang bersendau gurau. Ia sudah biasa sendiri. Tapi entah mengapa, setelah ia mengatakan kalau Zhira dan Admia adalah sahabatnya, saat itulah ia kembali merasakan sepinya hati saat mereka pergi.
"Gue temenin ya."
Lamunannya tersadar ketika seseorang duduk di sebelahnya.
"Alno?"
Seseorang itu –Alno tersenyum. Ia kembali menghabiskan softdrink-nya tanpa melihat ke arah Elia. Tapi berbeda dengan Elia, yang semula matanya terus menatap tajam ke arah dua manusia tengil yang tengah ia rindukan kejahilannya itu, ia berbalik menatap Alno yang sedang menghabiskan softdrink-nya. Rasanya seminggu terakhir itu, Elia lebih sering memikirkan tingkah laku Alno yang mendadak berubah. Ya! Lebih dekat dengannya dibandingkan dulu.
"Tumben lo nemenin gue? Biasanya kan lo sama temen-temen lo yang super songong itu."
Alno terkekeh. Dia menatap Elia yang masih menatapnya. "Nggak boleh ya gue nemenin temen gue yang lagi kesepian? Lo tuh kayak anak hilang tau nggak. Kemana-mana sendirian."
"Iya masa gue ke toilet mau ajak temen sekelas?" candanya.
"Tapi sekarang kan di kantin, El. Bukan di toilet."
"Bercanda doang, Al. Gue tuh lagi kesel. Tuh liat ... " ujarnya sembari memberi kode untuk melihat ke arah Zhira dan Admia.
"Oh, mereka. Udahlah, biarin aja. Mereka tuh nggak sungguh-sungguh mau jadiin lo sahabat. Sendiri itu kadang lebih baik, El."
Benar. Benar yang dikatakan Alno. Baginya itu benar. Entah benar dari mananya, tapi Elia menganggapnya benar.
Terkadang, sendiri itu lebih baik. Daripada punya teman atau sahabat yang hanya kesemuan belaka. Mereka semu. Kadang mereka ada di sisi kita. Membagi tawa mereka pada kita. Tapi ... setelah itu mereka menghilang. Meninggalkan luka sepi yang mendalam.
"Ya? Lo nangis?" Elia terperajat saat ibu jari Alno menempel di pipinya. Menyadarkannya dari lamunannya yang entah sejak kapan membuat air matanya terjatuh bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELIA DAN RAHASIA
RomancePertemuannya dengan si Murid Baru yang selalu ia sebut dengan Muka Rata membuat hidupnya jungkir balik 180°. Rasanya sungguh mengkhawatirkan tapi sialnya ... dia juga merasa nyaman. Elia, dengan seribu satu rahasia yang ia genggam erat-erat akhirny...