Kalau ada yang bertanya kapan pertama kita bertemu, aku akan dengan senang hati menjawab "di saat Orientasi Sekolah."
Ya, sebab itulah awal dari sejarah kita.====================================
Aneh bisa menjadi sebutan yang pantas disematkan kepadaku paling tidak selama dua minggu kedepan. Bagaimana tidak, ketika banyak murid menghindari orientasi dengan seribu satu alasan, aku justru senang bukan kepalang dan tak ingin bolos satu hari pun.Alasanku sebenarnya sangat mudah dimengerti. Aku cuma senang memiliki momen baru bersama dengan orang-orang baru. Ya, ini akan menjadi minggu-minggu yang menyenangkan karena tahun pertama sekolah baru sudah resmi dimulai di apel sore ini.
Puluhan murid sudah berkumpul membentuk sepuluh barisan rapi. Aku ada di tengah-tengah barisan sesuai dengan urutan kelas. Diantara mereka ada saja yang sudah lebih dulu akrab tetapi aku bukan termasuk diantaranya. Dibanding sibuk basa basi menanyakan asal sekolah atau tempat tinggal, aku lebih memilih memperhatikan pesona senior organisasi yang sedang memberi sambutan di depan lapangan. Suara alto miliknya mampu menghipnotisku.
"Manis ya.. "
Kalimat itu seketika membuyarkan perhatianku.
Perempuan yang berdiri di sebelah tiba-tiba tersenyum ke arahku lalu melayangkan pandangan ke senior di depan. Dia berbisik "Setuju nggak?"
Aku menjawab dengan senyuman meskipun agak canggung. Ugh bagaimana dia bisa tau kalau sejak tadi aku memperhatikan si senior. Aku terdiam beberapa saat dan sepertinya perempuan itu cukup peka. Dengan cepat ia meralat "Oh, Sorry. Kirain kita satu pendapat tentang senior itu. Ehem, kenalkan namaku Lyla." dia langsung mengulurkan tangannya.
"Oh, Darla." aku balas berbisik sambil menyambut uluran tangannya. Kali ini aku bisa melihat jelas rambutnya yang berwarna merah terang. Sangat kontras dengan bola matanya yang coklat dan kulit putihnya.
"Kita sekelas bukan?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan agar dia tidak membahas senior itu lagi.
"Tentu saja. tadi pagi aku melihatmu di bangku barisan depan. Kau duduk dengan Charlie, anak berbehel itu bukan?"
"Iya." aku berpikir beberapa saat, lebih mengecilkan volume suara "nampaknya kau sudah mengenal Charlie."
"Kami berasal dari sekolah yang sama." sahutnya sambil bergeser ke arahku. "Kau tidak ada teman dari sekolah sebelumnya?"
"Ehm ada. Tapi aku tidak akrab dengan mereka." jawabku singkat. Itu sebuah fakta yang awalnya aku sembunyikan. Fakta pertama, memang hanya ada lima orang yang berasal dari sekolahku sebelumnya. Fakta kedua, aku hanya tau siapa mereka tapi tidak begitu akrab. Fakta ketiga, seharusnya aku tidak perlu ambil pusing tentang hal ini.
Dan tanpa diminta Lyla menyetujui Fakta ketigaku "Jangan khawatir, aku rasa disini kita akan mendapatkan banyak teman baru."
Wow, selain peka, tak kusangka Lyla juga sangat optimis sehingga mampu menaikan moodku. Apalagi melalui obrolan ringan kami setelahnya. Bahkan dia juga berhasil membuatku lupa memperhatikan si senior yang ternyata sudah diganti posisi berdirinya oleh Kepala Sekolah paruh baya. Tak hanya itu, aku dan Lyla sempat bertukar informasi mengenai tempat tinggal dan nomor ponsel masing-masing di penghujung Apel sore ini.
"Selamat datang di Orientasi the Upper Central School. Selamat belajar dengan penuh semangat anak-anakku" tutup Kepala Sekolah dengan suara seraknya dan disambut riuh tepuk tangan murid-murid.
"Oiya Darl, bagaimana kalau besok aku duduk disebelahmu?" Mendadak Lyla merangkulku saat kami dan puluhan murid lainnya berhamburan menuju kelas masing-masing. Oops, rangkulan dan panggilan "Darl" adalah simbol kedekatan yang jarang aku temukan secepat ini dengan orang baru. Sebab, hanya keluargaku yang biasa memanggilku "Darl".
Tapi entah mengapa aku tidak masalah dengan hal itu. Kedekatan ini justru terasa nyaman.
"Ide yang bagus. Tapi bagaimana dengan Charlie?" wajahku tampak khawatir. Aku cuma tidak ingin menyinggung Charlie dan menyulut perselisihan di kesan pertama.
"Tenang saja, Darl. Aku akan mengaturnya." sahut Lyla mantap sambil menepuk bahuku pelan.
Setelah sampai di kelas, seluruh murid nampak bergegas menjejalkan alat tulis mereka ke dalam tas dan satu persatu bubar dengan tertib. Beberapa diantaranya yang sudah saling mengenal bergiliran melambaikan tangan lantas berpisah. Tak terkecuali Lyla, dia melewatiku sudah lengkap dengan tas di punggungnya "See you, Darl."
"See you, Lyl" seruku sambil memperlihatkan deretan gigi yang rapi.
Kalian dengar itu, aku memanggilnya "Lyl" dan itu terasa begitu saja keluar dari mulutku.Sejak saat itu, aku yakin Lyla bukanlah orang biasa yang sengaja dikirimkan Tuhan untukku. Dia merupakan awal yang baru dari kehidupanku.
.......................................................................
KAMU SEDANG MEMBACA
My PsychoPAL
ChickLitAku pikir dengan mengampuninya bisa mengubah dia menjadi pribadi yang lebih baik. Nyatanya dia justru semakin menjadi-jadi, menciptakan drama-drama agar aku bertahan di sisinya. Esok adalah kesempatan emasku. Kali ini aku harus membulatkan tekad un...